Kamis, 15 Juni 2017

Aku Ingin Ketemu dengan....

Memasuki hari kelima tantangan Kampus Fiksi, aku akan mengatakan hal ini:  ini adalah paragraf berisi jawabanku yang paling singkat sejauh ini. Jadi, di hari kelima ini ada pertanyaan: siapa yang sangat ingin kutemui dalam waktu dekat ini? Kenapa? Inilah jawabanku: tidak ada. Karena aku sedang tidak mengharapkan siapapun untuk kutemui. Selesai. Terima kasih sudah membaca jawaban atas tantangan ini. :)
.
xoxo

Rabu, 14 Juni 2017

Tentang Angka Nol



Memasuki hari keempat dari tujuh hari tantangan Kampus Fiksi, aku jadi semakin bingung. Aku bingung mau jawab bagaimana. Aku merasa jawaban atas pertanyaan di tantangan ini semakin lama semakin sulit. Aku bingung dan merasa jika si Momon ini kepo sekali. Tapi ya sudahlah, namanya juga tantangan. Jadi aku coba saja. 
.
Kali ini, aku akan membahas tentang peristiwa masa laluku. Tunggu, aku jadi bingung juga. Karena peristiwa memalukan dan peristiwa yang seharusnya tidak dilakukan, menurutku adalah dua hal yang berbeda. Dan karena Mba Momon yang manis memakai tanda penghubung ‘atau’, kuputuskan untuk menceritakan peristiwa yang seharusnya tidak kulakukan saja. 
.
Aslinya, aku punya banyak cerita yang seperti itu, tapi ada satu yang paling kuingat yaitu kisah tentang angka nol. Jadi begini, dulu aku masih kelas satu SD, di kelas awal dari pendidikanku ini, aku mulai belajar angka. Aku suka sekali dengan angka, hingga aku selalu membaca dan menuliskan angka-angka yang kujumpai. Nah, celakanya, saat itu aku belum terlalu paham tentang perbedaan yang diberikan oleh sebuah angka nol. Waktu itu, ibuku, yang juga seorang pedagang, mengikuti arisan di mana tiap hari ada seorang mba-mba yang akan menarik uang arisan berkeliling pasar dari satu pedagang ke pedagang lain. Saat itu, buku setoran arisan yang isinya tentu saja adalah angka-angka, sangat menarik perhatianku. Aku selalu membaca dan memperhatikannya, merasa sangat wah ketika melihat jajaran angka nol yang ditulis secara bergandengan. Hingga akhirnya aku ingin mencoba menulis angka nol dengan nol yang digandeng satu sama lain. Celakanya, aku menulisnya di buku itu. Dan tambah celaka lagi, angka nol yang seharusnya cuma empat, kutuliskan sebanyak lima kali. Dan tentu saja, di akhir periode arisan, mba-mba yang sudah tentu punya catatan lain selain di buku setoran itu protes kepada ibuku mengapa di situ tertera setoran yang seharusnya tidak ada. Aku, sebagai anak kecil tentu saja merasa ketakutan, aku khawatir jika mereka menemukanku sebagai pelakunya. Dan, ini hal buruknya. Ketika mba-mba dan ibu menanyaiku, aku malah menjawab jika aku tak tahu apa-apa. Lalu akhirnya ibu membelaku dan membayar setoran yang seharusnya beliau setorkan. Setelah kejadian itu, aku tak berani mengusik buku setoran arisan itu lagi. 
.
Hal ini terus kusesali hingga hari ini, mengapa dulu aku berbohong? Mengapa aku tak berani mengakui perbuatanku? Ibuku, mungkin tahu jika aku berbohong padanya, tapi dia tetap membelaku. Kira-kira seminggu setelahnya beliau mengatakan, jika aku berbuat kesalahan, aku tak perlu takut untuk mengakuinya. Lalu aku memeluknya dan menangis, kubilang maaf berkali-kali tanpa kusebutkan maaf untuk apa. Namun beliau tetap tersenyum dan balas memelukku. Dari situ, aku jadi menyadari bahwa ibu sangat menyayangiku. Hal lain yang juga kusadari adalah, jangan main-main dengan angka. 
.
.

Selasa, 13 Juni 2017

Curhat Colongan



Tentang kehilangan, sebetulnya aku sudah sangat terbiasa dengan kata itu. Kata yang memisahkanku untuk selamanya dengan hal yang aku suka. Mungkin, ada beberapa kehilangan yang akhirnya kembali, dan betapa beruntungya aku yang tak pernah merasakan itu. Eh, kalau kehilangan lalu dia kembali, itu namanya ketlisut kali ya?
.
Jadi begini, dulu ketika TK B, aku ini sungguh gadis kecil pendiam yang sering kali diusili oleh musuh-musuhku (dari dulu aku selalu menganggap yang mengusili adalah musuh, bukan kawan). Dan sekarang aku jadi berpikir betapa kasihannya diriku karena di usia sekecil itu aku berpikir mempunyai musuh. Kawan-kawan kecilku ini, mereka suka mengambil jajan yang kubawa untuk bekal ke TK. Dan mereka benar-benar mengambilnya, tanpa meminta. Dan aku kecil selalu menangis, alhasil ibuku selalu membawakanku jajan yang lebih banyak keesokan harinya. Namun tetap saja, kawan-kawan kecilku itu selalu mengambilnya dariku. Di situlah aku belajar, jika aku kehilangan maka aku akan mendapatkan yang lebih besar, meskipun kemungkinan ganti itu akan hilang lagi. Lambat laun aku mulai memahami jika aku tak ingin kehilangan lagi, aku harus berjuang untuk tidak kehilangan lagi. 
.
Baru-baru ini, aku kehilangan rasa percayaku terhadap manajemen tempatku bekerja. Dulu, awal-awal ketika aku akan menandatangani kontrak, pihak manajemen mengatakan padaku kurang lebih seperti ini: di sini, kami tidak seberapa peduli dengan pencapaianmu, kami jauh lebih peduli tentang attitude-mu. Sontak saja aku mempunyai ekspektasi yang luar biasa di tempat kerja baruku. Karena sebelumnya, aku pernah diperlakukan tidak adil di kantor sebelumnya. Namun seiring negara api menyerang, ternyata kalimat manis itu tidak berlaku. Ada sejawatku yang melakukan kecurangan dan aku melaporkannya. Dan hasilnya? Kontrakku dinyatakan sudah habis, dan mereka malah melanjutkan kontrak rekanku itu. Ketika itu terjadi, aku benar-benar tidak habis pikir. Apa yang selama ini kukerjakan? Apa yang selama ini kuperjuangkan? Jika keputusan akhirnya malah demikian. Aku jadi mempertanyakan diriku, mempertanyakan keputusan-keputusanku. Dan parahnya, aku menyesali keloyalanku selama ini. Sampai aku menulis ini, aku masih belum mendapatkan kembali rasa percayaku itu.
.
Di sini akhirnya aku belajar, kehilangan tidak bisa kau hindari jika hanya melalui perjuangan yang biasa. Kau harus melakukan perjuangan yang ekstra dan tentu saja, memerlukan taktik yang tepat. 
.
.
.

Senin, 12 Juni 2017

Binatang yang Kuingini Dalam Hidupku



Sejujurnya, aku ini bukanlah penyayang binatang. Akan tetapi, ada beberapa binatang yang sangat kukagumi, dan ingin kuperhatikan dalam keseharianku melebihi hal-hal lain di dunia ini. Intinya, binatang-binatang yang ingin kupelihara dan kuajak bermain sambil belajar (tiba-tiba aku teringat slogan majalah Bobo, yang merupakan favoritku ketika aku masih kecil). Mereka, adalah favoritku di antara binatang-binatang yang ada di muka bumi ini.
.
Singa adalah adalah favoritku yang pertama. Sejak melihat Simba di animasi The Lion King, aku selalu merasa bahwa singa adalah hewan yang menarik, yang mengajarkan tentang keberanian dan kesongongan. Kebanyakan, orang menganggap singa lucu karena hampir identik dengan kucing. Bagiku justru sebaliknya, aku ini takut pada kucing. Saking takutnya, pernah ada seekor kucing yang masuk kamarku di suatu malam dan dengan pede tingkat tinggi, dia tidur di samping bantalku. Tentu aku langsung girap-girap dan hasilnya aku tak bisa tidur semalaman karena membayangkan kucing itu akan kembali meniduriku. Namun lain halnya dengan singa, meskipun ia memiliki kesamaan dengan kucing, tapi dia lebih besar, lebih kuat, dan gagah. Bisa dikatakan, jika singa adalah binatang yang aku inginkan karena kesempurnaannya.
.
Yang kedua, aku ingin memelihara elang. Aku selalu berpikir jika mengirim pesan menggunakan elang adalah hal keren. Aku menyukai hal-hal kuno seperti yang satu ini. Aku mengagumi elang juga karena pandangan tajamnya, yang menurutku itu adalah hal yang aku tak bisa untuk memilikinya.
Sejak menonton film Ant-man, aku jadi ingin memelihara semut. Mereka pasukan yang baik dan bisa digunakan sewaktu-waktu karena ada di mana saja di seluruh dunia. Tapi rasa-rasanya, aku tidak bisa jadi Ant-woman, karena aku lebih senang jadi Iron-woman.
.
Ketika Indosiar menayangkan drama kolosal di mana orang-orang bisa mengendarai gajah untuk pergi ke mana saja, aku ingat jika aku selalu mencemooh drama itu. Menurutku, apa kerennya mengendarai gajah? Akan lebih keren jika kau bisa mengendarai serigala. Dan aku sangat ingin melakukannya. Serigala akan terlihat lebih garang dan menyeramkan, terutama ketika kau akan menghadapi lawan sekelas mantannya gebetan. Pasti akan keren jika aku bisa mengajaknya jalan-jalan. Serigalanya maksudku, bukan gebetan.
.
Aku punya seorang karib bersama Hannum, yang selalu kupanggil Pret (aku memanggilnya demikian bukan karena aku ingin memujinya dengan kata pretty, tapi karena memanggil demikian selalu menimbulkan kepuasan tersendiri bagiku). Si Hannum ini, sungguh polos orangnya, saking polosnya sampai dia selalu berhasil dikibuli orang. Pertama bertemu dengannya adalah ketika aku kuliah di Surabaya, dan sejujurnya aku nge-fans sama dia (semoga dia tidak baca ini). Aku selalu melihat dia sebagai seorang yang enak untuk digelindingkan, diuyel-uyel, dan diciumi (aku pernah mencium pipinya ketika aku sangat gemas padanya lalu dia mencuci pipinya berkali-kali setelah itu). Intinya, dengannya aku bagai bertepuk sebelah tangan, aku ingin memiliki, tapi aku tidak doyan dengan cewek. Lalu aku menemukan dirinya pada binatang ini: panda. Sejak saat itu, aku jatuh cinta. Tak apa tak memiliki Hannum, asal aku bisa memelihara panda.

Minggu, 11 Juni 2017

Sebuah Paragraf Untukmu Agar Kau Sedikit Mengenalku

Sepuluh kalimat dalam sebuah paragraf tentang perkenalan, kupikir itu akan cukup sebagai salah satu upayaku agar kau mengenalku namun tak terlalu mengenalku. Tak terlalu banyak tentang diriku yang bisa kuceritakan padamu. Tapi akan kuberikan gambaran kasarnya. Begini kira-kira: teman-teman terdekatku selalu memanggilku 'Pret', yang selalu kuyakini bahwa itu adalah kependekan dari kata pretty (meskipun aku yakin maksud teman-temanku bukanlah demikian). Ada pula beberapa orang yang ketika tahu namaku, memanggilku 'Mas', di mana setiap kali aku diberi julukan tersebut aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa kelaminku masih belum berganti. Ada beberapa pula, dan ini merupakan favoritku, memanggilku dengan sebutan 'kamu'. Kupikir sebutan ini adalah sebuah bentuk dimana orang lain ingin menjaga jarak denganmu, namun di saat yang bersamaan dia juga membutuhkanmu. Hal kedua yang ingin kusampaikan pada perkenalan ini adalah: aku ini mudah tertipu, terutama oleh sales. Jadi, jika kau nantinya mengenalku dan kemudian ternyata aku agak tertarik padamu, bolehlah kau beri peringatan kepadaku bahwa dirimu adalah seorang sales.Supaya aku tak terlalu menganggapmu tertarik padaku karena pribadiku, tapi karena kau ingin aku membeli produkmu.


Minggu, 01 Maret 2015

CERITA TENTANG KEKASIH

Apalah yang lebih indah dari kutukan seorang kekasih yang dinistai oleh orang yang paling dicintainya?
Kekasih, cinta adalah hal yang paling tidak akan bisa kau tebak bagaimana awal mula dan akhirnya. Kekasih, jika kau memahami sedikit saja kalimatku itu, tak akan kau merasakan nestapa yang mengorek jantungmu, mencerabut sukmamu, hingga membuat mata coklatmu menjadi sayu.
Kekasihku yang terdahulu adalah kekasihku yang paling aku cintai, yang paling mengusik ketenangan batinku, yang paling sering muncul dalam malam lelapku, yang paling ingin kulupakan namun tak bisa kuingkari, dan yang selalu hinggap dalam kenanganku. Bukankah kenangan layaknya kentut yang meninggalkan pemiliknya? Kau akan merasa lega setelah melepaskannya, akan tetapi aromanya masih tetap mengganggumu. Bukan kekasihku yang menggangguku, namun kenangan yang kurajut dalam untaian benang cinta kala aku bersamanya.
Kekasih, andai kau tahu, tak sekejap pun kenangan tentangmu pernah meninggalkan imajiku. Tak pernah sekalipun ingatanku tentangmu tergantikan oleh lusinan wanita yang melenguh di bawah tubuhku. Tak pernah sekalipun mereka menggantikanmu. Ketulusan murni yang selalu terpancar dari mata beningmu, tak layak disandingkan dengan pekikan tawa tajam dari bibir murahan.
Andai engkau tak mengusik ketenanganku, tak akan seperti ini jadinya, duhai kekasih. Misalkan jika saat itu engkau tak menanyaiku tentang keseriusanku kepadamu, tak akan aku mengusik rasa cinta kita dengan sundal itu. Kekasih, ribuan kali kukatakan kepadamu jika aku mencintaimu. Tiap engkau menatapku dengan kemolekan binar matamu, selalu kuutarakan betapa aku memujamu. Tak cukupkah itu bagimu, wahai kekasih? Mengapa engkau masih mempertanyakan tentang keseriusanku kepadamu? Bahkan engkau memintaku untuk membawamu ke penghulu. Duh kekasih! Kukatakan berkali-kali kepadamu jika pernikahan adalah belenggu yang belum siap kukenakan di jiwaku. Tak pahamkah engkau dengan kata-kataku itu? Mengapa oh mengapa kau membikinku muak dengan pertanyaan sama yang terus berulang? Kekasih, andai engkau sedikit saja memahamiku, tak akan aku menindih wanita beraroma menjijikkan itu demi menuntaskan hasratku.
Kekasih, andai kau tahu, saat engkau tiba-tiba masuk ke dalam apartemenku dan melihatku bersamanya, sesungguhnya aku membayangkan dirimulah yang ada di dalam dekapanku. Namun kau terlanjur murka layaknya singa betina yang kehilangan anaknya. Kau merutukiku dan sundal itu, yang baru kukenal di malam itu.
Kekasih, bukannya aku tak mau memeluk dan menenangkanmu, akan tetapi amarah yang masih menguasaiku karena ketidakpengertianmu kepadaku membuatku membela wanita yang bahkan namanya tidak kuketahui itu. Engkau meraung, mengoyak interior kamar yang sudah kita susun berdua. Engkau membalikkan meja kaca yang katamu cocok untuk menemani senja kita. Kekasih, andai kutahu jika kemarahanmu itu adalah tanda berakhirnya jalinan cinta kita, akan kuhentikan itu.
“Tidak akan pernah engkau temui wanita sepertiku! Bahkan hingga aku mati pun, engkau akan selalu membandingkan wanitamu dengan diriku! Dan aku adalah wanita terbaik untukmu!” engkau mencecarku dengan rutukanmu itu.
Kekasih, andai kau tahu, aku yang waktu itu memang mencintaimu, jatuh cinta sekali lagi kepadamu ketika melihat paras cantik yang selalu tenang di wajahmu berubah menjadi ular betina yang penuh kedengkian. Aih, cinta memang hal yang membuatmu tak pernah merasa cukup untuk sekedar mencintai, namun juga mengharuskanmu untuk jatuh cinta berkali-kali.
Namun kekasih, harus aku akui, hingga sekarang pun aku tak pernah melupakanmu. Tidakkah kau melihat jika rutukanmu itu sungguh bekerja untukku? Saat ini pun, aku masih selalu membandingkan wanita-wanita bergincu tebal dan beraroma menyebalkan itu denganmu.
Kekasih, sudah saatnya aku kembali ke kamar kita. Kamar yang kita persiapkan untuk merajut cinta kita. Kamar yang kau dekor dengan warna merah kesukaanmu. Kamar yang katamu adalah tempat di mana engkau akan menungguiku pulang. Lihat? Walaupun engkau merutukiku, tapi nyatanya engkau sangat mencintaiku bukan? Di antara mawar merah sewarna darah, wajah pucatmu yang terlelap tak bernyawa masih lebih cantik dibanding ratusan bunga beraroma surga itu, menunggu kepulanganku, sesuai katamu dulu. Kekasih, aku pulang. Hanya kepadamu.

Senin, 10 November 2014

Purnama Empat Tahun Lalu

Aku sudah lelah menunggui purnama. Pun, aku juga lelah menunggui datangnya kelam. Tapi laiknya purnama, sang cahaya yang menyinari bumi di kala gelapnya, ada setitik cahaya kecil di hatiku yang enggan padam.

“Gimana kencan sama Doni kemarin, Ta?” suara Maura mengusik lamunanku.

Kugelengkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan Maura.

“Lagi? Cinta, lo mau sampai kapan kayak gini? Umur lo udah dua enam, Ta…” Maura, sahabatku yang paling vokal untuk urusan percintaanku, menanyakan hal yang tidak kutahu apa jawabnya. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu.

“Mungkin Cinta belum nemu yang pas, Ra.” Jawaban dewasa dari Alya sungguh membantuku.

“Iya Ra. Belum nemu kali si Cinta. Kan gampang-gampang susah nyari pasangan. Iya nggak?” timpal Milly dengan suara cerianya. Mungkin, Milly memang paling kekanakan di antara kami, tapi dia selalu bisa menceriakan persahabatan kami. Persahabatan yang terjadi sejak kami SMA, hingga kini kami berusia dua puluh enam.

“Ya tapi kan nggak gitu juga, Al, Mil. Kalau kalian mau ngitung nih ya, udah berapa kali Cinta ganti pacar? Dan semuanya nggak ada yang pernah lebih dari tiga bulan! Bayangkan! Tiga bulan! Memangnya dia ABG tiap tiga bulan ganti pasangan?” Maura terlihat gemas sekali ketika menyampaikan kalimat-kalimatnya. Sampai-sampai, dia mengacungkan tiga jari tangan kanannya untuk menguatkan kalimatnya. Dan aku? Aku hanya bisa menarik senyum kecut di sudut bibirku…

Malam ini, aku dan sahabat-sahabatku sedang melaksanakan ‘ritual’ kami, berkumpul di rumah salah seorang di antara kami untuk menginap bersama. Hal yang rutin kami lakukan paling tidak satu bulan sekali sejak kami mulai bersahabat. Ya, hingga saat ini. tak pernah sekalipun kami melewatkan acara ini. Meskipun ada, saat-saat tertentu yang menyebabkan salah satu atau dua di antara kami tidak bisa hadir, tapi tetap, kami selalu meluangkan waktu kami untuk ini. Untuk kebersamaan ini. Karena kami masih ingin tetap bersama, meskipun kami sudah memiliki kehidupan masing-masing. Benar. Aku dan sahabat-sahabatku masih bersama sampai detik ini karena kami sama-sama menginginkannya. Aku, Alya, Maura, Milly, dan Karmen. Kami semua sama-sama berusaha untuk meluangkan waktu kami. Untuk persahabatan ini.

Pandanganku beralih ke kaca jendela kamar yang dibasahi oleh embun selepas hujan. Buram. Kualihkan tatapanku ke atas, mencari-cari benda langit yang biasanya bersinar penuh saat tanggal lima belas. Namun aku tak bisa menemukannya, dia sedang tertutup awan kelabu yang menggantungi langit Jakarta. Dalam hati aku bernafas lega. Setidaknya aku melewati purnama dengan tidak melihat purnama.

“Teringat seseorang, Ta?” suara lembut Alya mengagetkanku.

Aku sedikit gelagapan, mencoba menata kalimatku. “Ah, enggak kok, Al. Cuma lagi mikirin kerjaan aja.” Aku mengelak.

Alya tersenyum mendengar jawabanku. Seperti biasa, sikapnya yang paling dewasa di antara kami selalu bisa menelanjangi pikiranku.

“Nggak usah dipaksa kalau memang nggak cocok. Yang penting kamu nggak menyesali keputusanmu, Ta…”

“Halooo...” Pembicaraan kami terpotong oleh kedatangan Karmen ke kamar Maura. Dan, kami semua pun langsung disibukkan dengan cerita Karmen tentang pengalamannya meliput turnamen basket.

Iya, aku tidak akan memaksa. Untuk bisa cocok kepada siapapun yang datang kepadaku. Ataupun kepada mereka yang ingin pergi dariku. Aku tidak akan memaksa. Tapi andai kau tahu, ada sebagian kecil dari diriku yang memaksa dan menginginkan sesuatu. Yang aku tidak tahu, bagaimana cara agar aku bisa mendapatkannya. Aku masih menunggu. Untuk dia yang menjanjikan satu purnama kepadaku. Aku masih berharap, dia datang menemuiku ketika bulan selesai menunjukkan fase kelima belasnya. Nyatanya, hingga purnama keseratus pun dia tak jua muncul di hadapku.

Hei cinta, tak lelahkah kau menunggu? Tak inginkah kau mengalihkan pandangmu barang sekejap dari purnama? Pikirku menginginkannya, untuk mengalihkan perhatianku darimu. Tapi hati kecilku masih mengharapmu. Sudah! Aku sudah lelah. Aku benar-benar tak ingin lagi menunggumu. Bagaimana caranya agar aku bisa mengalihkan duniaku darimu?

Kusibukkan hari-hariku dengan mengejar karirku, untuk menepis bayanganmu dari otakku. Aku tak akan menolak mereka yang datang dan pergi dariku. Iya, itu adalah pengalihku darimu. Entah untuk berapa lama. Entah sampai kapan aku bisa bertahan…

***

New York di bulan November selalu menawarkan dingin yang mencekat jika kamu belum terbiasa di kota ini. Kurapatkan jaket kasmir coklat tuaku, mencoba melawan angin dingin yang membius selaksar kota ini. Bahkan, keangkuhan kota pencakar langit ini pun tak kuasa melawan hawa ngilu yang ditimbulkan angin di bulan ini. Apalagi saya, seorang yang selalu tinggal di negara tropis hingga beberapa tahun lalu.

Tinggal di New York, seolah kamu meninggalkan kehidupanmu. Jika tak pandai mengatur waktumu, pastilah kamu akan ditelan oleh kota ini. New York, bagi saya adalah raksasa pemakan manusia. Namun dia juga raksasa yang mengobati rasa kesepian manusia.

Saya berjalan menyusuri jalanan menuju apartemen saya di daerah Midtown West 37th street. Hari sudah gelap, namun pejalan kaki masih banyak melintasi jalan ini. Hal inilah yang membuat saya merasa tidak kesepian. Saya biasa sendiri, namun saya tidak suka kesepian. Benar, saya mulai tidak menyukai rasa yang sering menyapa saya itu sejak delapan tahun yang lalu…

Saya suka memandang langit, tak terkecuali malam ini. Di sini, malam akan terasa seperti siang karena binar lampu dari gedung-gedung tinggi menerangi langit. Dan di atas sana, saya melihat bulan sedang purnama. Purnama, membuat saya menjadi semakin kesepian. Jadi saya percepat saja langkah saya menuju apartemen. Agar saya bisa memikirkanmu dengan lebih leluasa…

Tidak! Bukan! Namun agar saya bisa mengerjakan berita-berita yang besok akan menjadi headline di surat kabar kota ini. Agar saya tak merasa lebih kesepian di tengah ingar-bingar jalanan ini.

Kamu boleh menertawakan saya. Tapi inilah cara yang saya gunakan agar tak merasa kesepian di sini. Tanpamu. Tanpa cinta…
***