Senin, 10 November 2014

Purnama Empat Tahun Lalu

Aku sudah lelah menunggui purnama. Pun, aku juga lelah menunggui datangnya kelam. Tapi laiknya purnama, sang cahaya yang menyinari bumi di kala gelapnya, ada setitik cahaya kecil di hatiku yang enggan padam.

“Gimana kencan sama Doni kemarin, Ta?” suara Maura mengusik lamunanku.

Kugelengkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan Maura.

“Lagi? Cinta, lo mau sampai kapan kayak gini? Umur lo udah dua enam, Ta…” Maura, sahabatku yang paling vokal untuk urusan percintaanku, menanyakan hal yang tidak kutahu apa jawabnya. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu.

“Mungkin Cinta belum nemu yang pas, Ra.” Jawaban dewasa dari Alya sungguh membantuku.

“Iya Ra. Belum nemu kali si Cinta. Kan gampang-gampang susah nyari pasangan. Iya nggak?” timpal Milly dengan suara cerianya. Mungkin, Milly memang paling kekanakan di antara kami, tapi dia selalu bisa menceriakan persahabatan kami. Persahabatan yang terjadi sejak kami SMA, hingga kini kami berusia dua puluh enam.

“Ya tapi kan nggak gitu juga, Al, Mil. Kalau kalian mau ngitung nih ya, udah berapa kali Cinta ganti pacar? Dan semuanya nggak ada yang pernah lebih dari tiga bulan! Bayangkan! Tiga bulan! Memangnya dia ABG tiap tiga bulan ganti pasangan?” Maura terlihat gemas sekali ketika menyampaikan kalimat-kalimatnya. Sampai-sampai, dia mengacungkan tiga jari tangan kanannya untuk menguatkan kalimatnya. Dan aku? Aku hanya bisa menarik senyum kecut di sudut bibirku…

Malam ini, aku dan sahabat-sahabatku sedang melaksanakan ‘ritual’ kami, berkumpul di rumah salah seorang di antara kami untuk menginap bersama. Hal yang rutin kami lakukan paling tidak satu bulan sekali sejak kami mulai bersahabat. Ya, hingga saat ini. tak pernah sekalipun kami melewatkan acara ini. Meskipun ada, saat-saat tertentu yang menyebabkan salah satu atau dua di antara kami tidak bisa hadir, tapi tetap, kami selalu meluangkan waktu kami untuk ini. Untuk kebersamaan ini. Karena kami masih ingin tetap bersama, meskipun kami sudah memiliki kehidupan masing-masing. Benar. Aku dan sahabat-sahabatku masih bersama sampai detik ini karena kami sama-sama menginginkannya. Aku, Alya, Maura, Milly, dan Karmen. Kami semua sama-sama berusaha untuk meluangkan waktu kami. Untuk persahabatan ini.

Pandanganku beralih ke kaca jendela kamar yang dibasahi oleh embun selepas hujan. Buram. Kualihkan tatapanku ke atas, mencari-cari benda langit yang biasanya bersinar penuh saat tanggal lima belas. Namun aku tak bisa menemukannya, dia sedang tertutup awan kelabu yang menggantungi langit Jakarta. Dalam hati aku bernafas lega. Setidaknya aku melewati purnama dengan tidak melihat purnama.

“Teringat seseorang, Ta?” suara lembut Alya mengagetkanku.

Aku sedikit gelagapan, mencoba menata kalimatku. “Ah, enggak kok, Al. Cuma lagi mikirin kerjaan aja.” Aku mengelak.

Alya tersenyum mendengar jawabanku. Seperti biasa, sikapnya yang paling dewasa di antara kami selalu bisa menelanjangi pikiranku.

“Nggak usah dipaksa kalau memang nggak cocok. Yang penting kamu nggak menyesali keputusanmu, Ta…”

“Halooo...” Pembicaraan kami terpotong oleh kedatangan Karmen ke kamar Maura. Dan, kami semua pun langsung disibukkan dengan cerita Karmen tentang pengalamannya meliput turnamen basket.

Iya, aku tidak akan memaksa. Untuk bisa cocok kepada siapapun yang datang kepadaku. Ataupun kepada mereka yang ingin pergi dariku. Aku tidak akan memaksa. Tapi andai kau tahu, ada sebagian kecil dari diriku yang memaksa dan menginginkan sesuatu. Yang aku tidak tahu, bagaimana cara agar aku bisa mendapatkannya. Aku masih menunggu. Untuk dia yang menjanjikan satu purnama kepadaku. Aku masih berharap, dia datang menemuiku ketika bulan selesai menunjukkan fase kelima belasnya. Nyatanya, hingga purnama keseratus pun dia tak jua muncul di hadapku.

Hei cinta, tak lelahkah kau menunggu? Tak inginkah kau mengalihkan pandangmu barang sekejap dari purnama? Pikirku menginginkannya, untuk mengalihkan perhatianku darimu. Tapi hati kecilku masih mengharapmu. Sudah! Aku sudah lelah. Aku benar-benar tak ingin lagi menunggumu. Bagaimana caranya agar aku bisa mengalihkan duniaku darimu?

Kusibukkan hari-hariku dengan mengejar karirku, untuk menepis bayanganmu dari otakku. Aku tak akan menolak mereka yang datang dan pergi dariku. Iya, itu adalah pengalihku darimu. Entah untuk berapa lama. Entah sampai kapan aku bisa bertahan…

***

New York di bulan November selalu menawarkan dingin yang mencekat jika kamu belum terbiasa di kota ini. Kurapatkan jaket kasmir coklat tuaku, mencoba melawan angin dingin yang membius selaksar kota ini. Bahkan, keangkuhan kota pencakar langit ini pun tak kuasa melawan hawa ngilu yang ditimbulkan angin di bulan ini. Apalagi saya, seorang yang selalu tinggal di negara tropis hingga beberapa tahun lalu.

Tinggal di New York, seolah kamu meninggalkan kehidupanmu. Jika tak pandai mengatur waktumu, pastilah kamu akan ditelan oleh kota ini. New York, bagi saya adalah raksasa pemakan manusia. Namun dia juga raksasa yang mengobati rasa kesepian manusia.

Saya berjalan menyusuri jalanan menuju apartemen saya di daerah Midtown West 37th street. Hari sudah gelap, namun pejalan kaki masih banyak melintasi jalan ini. Hal inilah yang membuat saya merasa tidak kesepian. Saya biasa sendiri, namun saya tidak suka kesepian. Benar, saya mulai tidak menyukai rasa yang sering menyapa saya itu sejak delapan tahun yang lalu…

Saya suka memandang langit, tak terkecuali malam ini. Di sini, malam akan terasa seperti siang karena binar lampu dari gedung-gedung tinggi menerangi langit. Dan di atas sana, saya melihat bulan sedang purnama. Purnama, membuat saya menjadi semakin kesepian. Jadi saya percepat saja langkah saya menuju apartemen. Agar saya bisa memikirkanmu dengan lebih leluasa…

Tidak! Bukan! Namun agar saya bisa mengerjakan berita-berita yang besok akan menjadi headline di surat kabar kota ini. Agar saya tak merasa lebih kesepian di tengah ingar-bingar jalanan ini.

Kamu boleh menertawakan saya. Tapi inilah cara yang saya gunakan agar tak merasa kesepian di sini. Tanpamu. Tanpa cinta…
***