Senin, 22 Juli 2013

yungphapuccino: life is like a cappuccino

Seorang teman mengatakan bahwa sebaik-baik hidup adalah ketika kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Saya setuju dengan pendapatnya itu, akan tetapi seringkali saya berpikir, bagaimana caranya supaya kita bisa bermanfaat untuk orang lain? Lama saya mencari jawabannya, hingga kemudian saya menemukannya. Bukan dengan perenungan panjang yang menguras emosi, akan tetapi dengan kejadian kecil di suatu sore. Ketika saya menikmati minuman favorit saya, secangkir cappuccino.
Mengapa cappuccino?
Cappuccino, kopi dengan rasa manis dan pahit ketika kau menyeduhnya. Begitulah caramu menikmatinya. Kau harus merasakannya.
Cappuccino, selalu mempunyai topping indah dalam penyajiannya. Dengan beragam bentuk dan gambar indah di atas kopinya, hingga rasanya eman untuk menghancurkannya.
Tapi jika saya tidak menghancurkan gambar tersebut, bagaimana saya bisa merasakannya?
Jawabannya tidak sulit. Untuk dapat merasakan cappuccino, maka kau harus tega menghancurkan gambar yang seolah terukir indah di atasnya. Dengan demikian maka kau akan bisa menyeduhnya, menikmati sensasi rasa antara manis dan pahit yang diciptakan oleh olahan kopi terbaik.
Dan seperti itulah saya memaknai kehidupan: hancurkanlah zona indahmu, rasa nyaman dan amanmu. Maka dengan itu kau akan merasakan sensasi percampuran antara pahit dan manis. Manis dan pahit. Dan itulah kehidupan yang sebenarnya.
Life is like a cappuccino: kadang kita menemukan jawaban dari apa yang biasanya kita lalui, apa yang kita jalani, tapi kita terlalu menutup mata dan telinga hanya untuk sekedar memahaminya.
Life is like a cappuccino: hidup akan bermakna ketika kita sudah merasakan pahit dan manis di dalamnya.
Life is like a cappuccino: hidupkanlah dirimu terlebih dahulu, maka kau akan bisa bermanfaat bagi siapapun yang kau inginkan.

RANDU



Aku memandangi bangunan Belanda bercat putih pucat yang berdiri kokoh di hadapanku. Tak seperti bangunan-bangunan peninggalan Belanda lainnya yang terlihat menyeramkan,  bangunan ini terlihat lebih modern namun tetap tidak meninggalkan kesan oldies dari bentuk awalnya. Dengan adanya pemugaran dan renovasi, bangunan ini justru semakin ramai dan modern. Sekali lagi, tanpa meninggalkan kesan oldies dari bentuk terdahulunya.
Suara panggilan penumpang yang merupakan khas dari tempat ini bergema hingga ke luar bangunan. Aku melihat ke jam tangan merah marun yang selalu menjadi favoritku. Keretaku masih setengah jam lagi. Sekali lagi aku memandangi stasiun ini. Tempat persinggahan terakhirku di kota ini sebelum aku pergi meninggalkannya. Lalu aku menoleh ke belakang. Ke jalanan di depan stasiun yang juga merupakan jalanan protokol di kota ini. Jalanan yang menghubungkan stasiun ini dan juga rumahku. Jalanan yang menghubungkan masa laluku dengan masa depanku.
Kulangkahkan kakiku menuju peron stasiun. Bagaimanapun juga, pagi ini aku sudah membulatkan tekad untuk bisa di sini. Bahkan aku sampai melakukan perbuatan yang paling kubenci: membuat ibuku menangis. Kupandangi tiket kereta di tanganku. Argo Wilis jam 10.15 WIB. Aku pun mengencangkan ikatan ranselku dan menarik koperku menuju tempat pemeriksaan tiket. Ketika sudah sampai di depan loket pemeriksaan, sekali lagi aku melihat jalanan depan stasiun. Ada perasaan enggan untuk meninggalkan kota ini, namun ada perasaan agar aku bisa melangkah maju, dengan mengorbankan hal-hal indah di kota ini.
Lalu aku mengganti arah langkahku. Bukannya ke loket pemeriksaan karcis, namun langkahku malah ke deretan kursi tunggu penumpang yang terletak di peron luar stasiun. Aku menuju deretan bangku kosong yang terletak di shaf paling belakang. Kuletakkan ranselku di atas koper, kemudian aku duduk di bangku itu. Akan tetapi pandanganku kosong. Kukeluarkan lagi tiket dari saku jaketku, lalu kupandangi kertas itu. Namun memoriku terbang menuju suatu sore pada beberapa minggu yang lalu.
Aku menerima email pemberitahuan dari program beasiswa yang aku kirimkan beberapa bulan yang lalu. Program beasiswa ke luar negeri yang kukirimkan diam-diam tanpa sepengetahuan keluargaku. Sebenarnya aku hanya mencoba-coba saja. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku sangat berharap andai aku bisa menerima beasiswa itu. Dan akhirnya, terjadilah kenyataan itu. Aplikasi beasiswaku dinyatakan lolos. Dan untuk itu, aku harus mengambil keputusan: mengambilnya atau tidak.
Bukannya tanpa alasan aku memiliki dua opsi itu. Karena aku memang sangat ingin melanjutkan studiku. Aku ingin melanjutkan risetku. Aku ingin membuat perubahan dalam diriku. Itu adalah hal yang sangat kuimpikan dan kudambakan. Dan aku yakin siapapun pasti juga memimpikan hal yang sama: perubahan ke arah yang lebih baik. Namun tidak semua orang bisa dan mampu melakukannya. Kini aku mempunyai jalan yang bisa membawaku ke sana. Haruskah aku hanya memandanginya lalu melewatkannya begitu saja? Aku rasa itu bukanlah sifatku. Melewatkan kesempatan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Dan juga untuk berjuang hingga akhir. Karena itu adalah yang selalu diajarkan oleh ibuku.
Opsi kedua, tidak mengambil kesempatan itu. Mengapa ada opsi itu? Karena orang yang mengajariku tentang kepantang-menyerahan dalam situasi apapunlah sebabnya. Benar. Ibuku. Ibuku adalah wanita kuat dan tegar yang selalu bisa menyembunyikan kesedihannya. Bahkan di saat beliau ditinggalkan oleh ayah. Aku masih ingat saat itu. Aku yang berusia sembilan tahun menangis sesenggukan di pojok kamar. Menolak untuk makan, berbicara, bahkan menolak semua orang yang berusaha menghiburku. Di pikiranku saat itu hanya ada satu: ayah sudah pergi. Selamanya. Tidak akan ada lagi orang yang menggendongku di pundaknya. Tidak akan ada lagi orang yang menenangkanku saat aku terjatuh dan terluka karena kecerobohanku. Tidak ada lagi orang yang akan memelukku hingga aku tertidur. Tidak ada. Dan saat itu, ibuku dengan lembut mengusap air mataku. Tersenyum dengan penuh kasih sayangnya, lalu menggenggam tanganku. Matanya seolah berkata: semua akan baik-baik saja. Lalu aku pun menghambur ke pelukannya. Pelukan yang lembut. Tidak seperti ayah yang keras. Namun aku merasakan hal yang sama di antara keduanya: mereka memelukku seolah aku adalah harta mereka yang paling berharga.
Dan kini tangan yang saat itu memelukku tidak lagi bisa melakukan hal yang sama. Dua tahun lalu ibu terkena stroke ringan. Dan itu mengakibatkan kedua tangannya lumpuh. Lalu dengan pengobatan yang rutin kami lakukan, lambat laun tangan ibu dapat digerakkan lagi. Namun tidak bisa sama seperti semula. Ibu belum bisa menggenggam dengan erat. Tapi ada satu hal yang kusadari: walaupun keadaan ibu berubah menjadi seperti saat ini, senyum di wajahnya masih sama. Senyum lembut yang seolah selalu mengatakan: semua akan baik-baik saja.
Pikiranku melayang ke saat aku menerima email pemberitahuan itu. International Master in Rural Development. Wageningen University. Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin mengejar impianku. Tapi aku juga ingin menjaga ibu.
Untuk beberapa hari setelahnya aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dalam setiap pekerjaan yang kulakukan. Komplain datang dari berbagai arah. Setelah komplain itu pun pekerjaanku masih tidak beres. Aku benar-benar resah. Bimbang. Tidak tahu harus mengambil keputusan yang mana. Namun tampaknya ibu tidak melewatkan perhatiannya pada perubahan perilakuku ini. Dengan suara terbatanya beliau bertanya, “Ada apa, Nduk[1]?”
Mendengar pertanyaan dari ibu, kontan aku langsung menghamburkan diriku ke pangkuan beliau. Seperti yang selalu kulakukan sejak kecil ketika hatiku sedang merasa sedih, bimbang, dan tidak tahu harus melakukan apa. Ibu yang sudah sangat memahami kebiasaanku itu langsung menyadari keresahan hatiku. Aku pun menangis di pangkuan beliau, sementara itu dengan tangannya yang masih bergetar akibat penyakitnya, ibu membelai lembut kepalaku.
Puas dengan tangisku, aku pun mencoba menceritakan apa yang menjadi sumber kegundahanku. Namun berkali-kali aku mencoba menyampaikannya, selalu suara sesenggukan akibat tangisku sebelum itu mengganggu kalimat-kalimatku. Setelah mendiamkan dan menenangkan diriku untuk beberapa saat, akhirnya aku bisa menyampaikan kalimat-kalimat yang aku susun dengan susah payah di otakku kepada ibu.
Beberapa saat setelah aku menyampaikan kegelisahanku, ibu terdiam. Lalu tangan beliau yang masih gemetar, memegang lembut pipiku. Saat aku melihat ke mata ibu, kulihat tatapan lembutnya, juga senyuman di wajahnya yang sudah renta. “Pergilah, Nduk. Ibu akan menunggu.” Itu yang dikatakan oleh ibu. Masih dengan senyumannya, yang seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Berkat dorongan kalimat ibu saat itu, akhirnya aku dengan semangat empat lima memperjuangkan urusan-urusan administrasi yang masih belum kutangani. Pun aku mengundurkan diri dari pekerjaanku. Demi sebuah mimpiku: perubahan.
Irama lantunan khas stasiun pun kembali terdengar dari speaker kotak kecil yang ada di belakang deretan bangkuku. Lalu lantunan itu diikuti dengan suara pemberitahuan dari petugas stasiun. Pemberitahuan kereta yang akan datang. Bukan keretaku. Kulihat waktu di jam marunku. Masih lima belas menit lagi.
Saat aku akan memutuskan untuk berdiri dan menuju ke peron dalam, aku melihat ada seorang nenek berusia enam puluhan tahun sedang bercanda dengan cucunya yang berusia empat tahunan. Mereka terlihat begitu bahagia. Bahkan ketika si cucu berlari di antara kerumunan orang yang lalu lalang di peron, sang nenek dengan nafas kembang-kempisnya berusaha mengejar cucunya. Kulihat ada seorang wanita yang berdiri tak jauh dari cucu nenek tersebut lalu menggendong anak itu. Kemudian dia menghampiri sang nenek yang nafasnya terlihat sudah hampir habis. Mungkin wanita itu adalah ibu anak itu. Wanita itu mencium kening si anak, kulihat di sudut mataku bahwa sang nenek tersenyum menyaksikan kejadian itu. Senyum yang selalu aku inginkan juga ada di wajah ibu.
Seminggu sebelum hari ini, ketika aku pulang kantor lebih cepat—hari itu adalah hari kerja terakhirku—aku menemukan ibu ada di kamarnya bersama Mbak Mi. Mbak Mi adalah tetanggaku yang juga sekaligus pengurus rumahku semenjak aku kecil. Dia sangat akrab dengan keluargaku. Bahkan kami—aku, ibu, serta ayah—sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga kami. Karena begitu lama dan sangat berperannya Mbak Mi dalam kehidupan kami.
Aku menemukan ibu dan Mbak Mi di kamar ibu. Biasanya, aku akan langsung masuk ke kamar dan memeluk Mbak Mi dari belakang, lalu mencium kening ibu dan kemudian ikut duduk bersama mereka. Namun kali itu lain. Ketika akan kulangkahkan kakiku, kudengar suara isak tangis ibu. Tubuhku langsung kelu. Ibu. Beliau wanita kuat. Beliau tidak pernah menangis. Bahkan ketika ayah pergi meninggalkan kami berdua. Kutajamkan telingaku. Berusaha mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Setelah suara-suara sayu dari ibu dan Mbak Mi tertangkap jelas oleh kupingku, kakiku langsung lemas.
Emptiness syndrome. Sindrom sangkar kosong. Dalam ilmu psikologi, keadaan ini biasa dialami oleh orangtua-orangtua yang merasa bahwa anaknya akan meninggalkan mereka. Ketika mengalami hal ini, maka yang bersangkutan akan mengalami kesepian yang amat sangat. Dan kesepian ini lambat laun akan membuat penderitanya mengalami stres. Aku pernah mempelajari hal ini saat mengambil mata kuliah pengantar psikologi waktu aku kuliah S1 dulu. Dan bodohnya aku, mengapa tak pernah terpikirkan olehku bahwa ibu juga akan mengalami hal ini. Aku pun kembali ke kamarku dengan langkah lunglai dan disertai peluh tangis yang mengalir di pipiku. Sudah kuputuskan: aku akan menolak beasiswa ini.
Sekali lagi, suara pemberitahuan kereta akan datang terdengar dari speaker peron stasiun. Ah, kali ini benar keretaku. Aku pun berdiri, kembali menggendong ranselku, dan menarik koperku. Kulangkahkan kakiku ke antrian pemeriksaan tiket. Lalu kemudian aku mendengar suara seseorang memanggil namaku. “Randu! Randu! Jangan pergi dulu!” aku menoleh ke arah suara tersebut berasal. Mbak Mi. Aku pun menarik diri dari antrian pemeriksaan tiket dan menghambur ke Mbak Mi.
“Ada apa Mbak?” tanyaku penasaran dan cemas. Cemas kalau tiba-tiba terjadi sesuatu pada ibu. Mbak Mi lalu mengeluarkan secarik amplop dari kantung baju dasternya. Baju daster memang benar-benar ciri khas Mbak Mi, pikirku. Dia menyerahkan amplop tadi kepadaku. “Dari Ibu.” katanya sambil tersenyum.
“Keretamu sudah mau datang kan, Nduk? Sana masuk ke peron. Nanti kamu ketinggalan lho.” Katanya sambil tersenyum. Aku pun mengangguk, kemudian kupeluk wanita paro baya itu. Tak kuasa air mata pun mengalir dari mataku yang memang sudah sembab dari tadi. “Tolong jaga Ibu ya, Mbak.” Pintaku. Dan Mbak Mi menjawabnya sambil mengacungkan jempol kanannya. Aku menyeka air mataku dan menuju antrian pemeriksaan karcis. Setelah masuk ke peron dalam, kukeluarkan isi amplop yang diberikan Mbak Mi. Sepucuk surat. Namun sebelum sempat kubaca isi surat itu, keretaku datang. Buru-buru aku memasukkan surat tadi dan amplopnya ke dalam tas sampingku, lalu mencari nomor gerbong dan tempat dudukku. Kutata rapi koper dan ranselku di bagasi atas. Aku pun duduk dan mengeluarkan surat itu lagi. Tulisan Mbak Mi. Aku tersenyum melihatnya. Ibu pasti meminta tolong ke Mbak Mi untuk menulisnya. Lalu kubaca surat itu.
Randu, saat kamu membaca ini, Ibu sudah tidak ada lagi di dekatmu. Ibu sudah akan berada jauh dari kamu, Nduk. Sebenarnya Ibu sedih kalau memikirkan bahwa kamu akan jauh dari Ibu untuk entah berapa lama. Ibu sedih sekali. Karena seperti yang kamu tahu, Nduk, kamu satu-satunya harta Ibu yang masih tersisa setelah kepergian ayahmu.
Tapi Nduk, saat Ibu mengingat kesedihan Ibu ini, Ibu juga menyadari bahwa kamu pun mempunyai kesedihan yang sama. Dan Ibu tidak mau membiarkan kamu berlarut dalam kesedihanmu. Karena Ibu tahu, Genduk mempunyai mimpi  yang harus diperjuangkan.
Bukannya tanpa alasan Ibu dan Ayahmu menamakanmu Randu. Randu, si pohon kapas. Kami ingin kamu seperti dia. Kapas terbang, pergi meninggalkan pohonnya. Sementara pohon tidak bisa menahan dia. Karena hanya dengan meninggalkan pohon, maka kapas itu akan berguna.
Itulah yang kami harapkan dari kamu, Nduk. Itu pula yang harus kami lakukan. Dan inilah yang sekarang Ibu lakukan. Ibu rela kalau sekarang Genduk meninggalkan Ibu. Carilah kehidupanmu. Jadilah berguna bagi orang lain, Nduk. Dan jika suatu hari nanti kamu sudah jadi orangtua bagi anak-anakmu, maka ingatlah selalu mengapa kamu dinamakan Randu.
Ibu rela Genduk tinggalkan. Ibu ikhlas. Tapi Genduk harus berjanji satu hal. Sekembalinya Genduk nanti, Genduk harus menjadi orang yang berguna. Karena Genduk adalah satu-satunya harta berharga bagi Ibu dan Ayahmu ini.
Terakhir, berhati-hatilah di negeri orang. Jangan pernah lupakan bahwa ibu di sini menunggumu. Ibu menyayangimu, Randu.
Di akhir surat itu, ada tetesan air yang masih basah yang barusan keluar dari kedua bola mataku. Ibu, di tengah kesedihannya, masih tetap memikirkanku. Ibu, yang setelah aku mengutarakan bahwa aku tidak akan pergi, langsung memarahiku. Ibu, di tengah kekalutanku, malah meminta Mbak Mi untuk membelikan tiket kereta yang kini aku tumpangi. Ibu, yang tadi pagi dengan senyum hangatnya memaksaku untuk pergi ke stasiun. Ibu, yang selalu memikirkan bagaimana kebaikan datang untukku. Ibu, aku berjanji akan kembali sesuai dengan apa yang menjadi harapanmu.
Ibu, aku juga menyayangimu. Sangat menyayangimu.


[1] Nduk (Genduk): nama panggilan untuk anak perempuan dalam masyarakat Jawa.

Kopi, Aku, dan Kamu



“Suka kopi?”
Itu adalah hal pertama yang selalu kutanyakan kepada orang yang baru pertama kali kukenal. Setelah namanya, tentunya. Bukan tanpa alasan aku menanyakan hal itu. Karena aku memang pecinta kopi. Latte, Robusta, Arabican, Cappuccino, hingga kopi-kopi khas nusantara lainnya sudah pernah aku cicipi. Dan pertanyaanku itu selalu bisa lebih mengakrabkanku dengan orang yang baru kukenal.
Aku pernah menjelajahi warung kopi pinggir jalan hingga kafe yang harganya tidak main-main hanya untuk secangkir kopi. Dan aku lebih menyukai minum kopi di warung-warung kecil pinggir jalan sebenarnya. Seperti saat ini. Aku menunggu jadwal keberangkatan keretaku dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Di warung kopi di depan stasiun. Dan masih ada waktu satu jam lagi sebelum keretaku berangkat.
Warung ini sudah sangat terkenal dengan kopinya yang ditambahi arang membara ke dalamnya. Dan saat ini aku sedang menikmati kopi itu. Rasa arang yang tercampur aroma khas dari kopi itu seperti menggugah seleraku untuk menikmatinya secara perlahan. Aku sendirian saat itu. Setelah melewati masa dinasku selama tiga hari di kota bersejarah ini, aku akan meninggalkannya malam ini.
Aku duduk di tikar yang sudah disediakan di sana. Sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang melintas di jalanan antara warung ini dengan Stasiun Tugu.
“Bruk!” tiba-tiba aku mendengar suara tas yang dilemparkan ke tikar yang kududuki oleh pemiliknya. Aku meliriknya sambil menyesap kopi arangku. Seorang pemuda berusia pertengahan dua puluhan. Lalu dia ikut melemparkan dirinya ke tikar itu. Duduk di sebelahku sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dan sekarang aku sudah tidak meliriknya. Aku sudah menatapnya dengan pandangan heran. Beginilah jika di warung kopi pinggir jalan, kamu akan menemui berbagai macam orang, dengan berbagai macam tabiat.
“Ah, maaf. Aku mengejutkanmu, ya?” aku mendengar nada sungkan dari suaranya.
Aku menggeleng. “Tidak juga.” Kataku sambil menaruh kembali gelasku.
Dia menyandarkan tubuhnya ke tas yang tadi dijatuhkannya.
“Suka kopi?”
Biasanya itu adalah pertanyaanku. Tapi kali ini itu kudengar bukan dari mulutku. Aku menoleh kepadanya. Dia masih bersandar di tasnya dan menerima segelas kopi yang sudah dipesannya.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Suka.” Kataku.
Dia meletakkan gelasnya ke tanah, lalu membuka tutupnya. “Sama.” Katanya sambil tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya.
“Menunggu kereta?” tanyaku sambil melirik ke tas besarnya yang tadi sedikit mengagetkanku itu.
Dia mengangguk. “Kamu?” tanyanya sambil melirik koper yang kuletakkan di belakangku.
“Sama.” Kataku sambil tersenyum dan menyesap kopiku lagi.
“Kuliah?” tanyanya lagi.
“Dinas.” Jawabku. “Kamu?”
“Sama.” Kali ini dia menjawabnya sambil tertawa. Aku ikut-ikut tertawa.
“Berapa kali kita samaan tadi?” tanyanya lagi.
Aku mengedikkan bahuku. “Banyak.”
Kami tertawa bersamaan. Seperti inilah yang kusuka dari warung kopi pinggir jalan. Kamu bisa dengan mudahnya akrab dengan orang yang baru kamu kenal. Di saat itu juga. Dan kamu bisa bebas mengobrolkan berbagai macam topik, mulai dari pendidikan, olahraga, politik, pemerintahan, hingga yang sedikit pribadi. Tapi saat itu aku dan dia tidak membicarakan masalah pribadi. Sama sekali.
Aku melihat ke jam tanganku. Sudah waktunya. Sayang sekali.
“Aku harus pergi.” Sesalku. “Sudah waktunya keretaku berangkat.”
“Oh… Baiklah.” Dia mengambil gelasnya. Menghabiskan kopi yang masih tersisa di dalamnya.
“Aku pergi dulu.” Pamitku sambil berdiri dan membayar kopiku.
“Ah, tunggu. Aku juga.” Katanya. “Keretaku juga hampir berangkat.”
Aku mengangguk. Dia berdiri dan menggendong tas besarnya di punggung.
“Perlu bantuan?” dia menawarkan bantuannya ketika melihatku agak kesusahan menarik koperku.
“Tidak perlu.” Kataku sambil menggeleng. Aku menunggunya sebentar untuk membayar kopinya. Kemudian kami berjalan bersama menuju ke stasiun. Di perjalanan yang cukup panjang namun singkat itu, kami tidak bicara apa-apa lagi. Hingga kami masuk ke dalam peron.
Lalu aku mendengar pengumuman bahwa keretaku akan segera berangkat.
“Baiklah, kita berpisah di sini.” Pamitku setelah melewati pemeriksaan tiket.
Dia mengangguk. “Sampai jumpa.”
Aku tersenyum mendengarnya. Sampai jumpa. Bukan selamat tinggal. Padahal kami baru saja bertemu. Bahkan aku belum mengetahui namanya. Ah iya, nama. Aku harus menanyakannya.
“Siapa namamu?” mulut kami bersuara bersamaan saat menanyakan hal barusan.
Lalu aku dan dia tertawa bersama-sama. Dia mempersilakanku duluan.
“Ratri.” Kataku.
Dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Hanafie.”
Aku menyambut uluran tangannya dan membalas senyumnya.
“Baiklah, Hanafie. Kita harus berpisah di sini sekarang.” Kataku, sekali lagi. “Sampai jumpa.” Lalu aku melangkah menuju ke keretaku. Dan ketika aku menoleh kepadanya, dia sudah tidak ada di tempatnya. Hatiku sedikit kecewa. Beginilah, jika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Aku sering mengalaminya. Jadi aku memantapkan langkahku menuju pintu keretaku.
Aku menemukan tempat dudukku. Di sebelah jendela. Sedangkan di sebelahnya masih kosong. Lalu aku segera menempati kursiku. Dan karena di sebelah jendela, aku bisa bebas melihat ke luar kereta. Mataku masih mencari sosoknya. Hanafie. Namun aku tidak menemukannya hingga speaker memperdengarkan suara yang mengumumkan bahwa keretaku akan berangkat. Sayang sekali.
Aku mengambil surat kabar yang kubeli tadi pagi namun belum sempat kubaca. Aku  membuka lebar-lebar koran itu hingga menutupi diriku . Headline-nya adalah harga daging sapi yang menembus harga seratus ribu rupiah di pasaran. Ya biasalah, masa-masa sebelum puasa memang selalu seperti ini, batinku. Tadi aku juga membicarakannya dengan Hanafie. Lalu aku melanjutkan bacaanku ke berita yang lainnya. Namun aku tidak bisa fokus karena keretanya bergoyang tidak nyaman. Jadi aku menutup koran itu. Melipatnya dengan rapi dan menyimpannya kembali ke dalam tasku.
Aku berencana untuk memejamkan mataku setelah itu sebelum aku menyadari bahwa ternyata di sampingku sudah ada orangnya. Dia sedang membaca majalah olahraga dan tidak mempedulikanku. Tapi aku tahu siluet wajah dari samping itu. Aku melihatnya satu jam yang lalu. Di warung kopi di depan stasiun.
“Hanafie?” sapaku.
Dia mengangkat wajahnya dari majalah yang asyik ditekuninya itu. Lalu wajahnya nampak terkejut melihatku.
“Ratri?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Ternyata kereta kita sama.” Katanya sambil tertawa kecil. “Tunggu. Jangan-jangan tujuan kita juga sama?” dia mengira-ngira.
“Kamu mau ke mana?” aku menanyakan tujuannya.
“Bandung.” Jawabnya singkat. “Kamu?”
Aku tersenyum mendengarnya. Lalu berkata, sekali lagi, “Wah… sama…”
Dan sepertinya pembicaraan kami tidak akan berhenti sampai di situ.