Minggu, 01 Maret 2015

CERITA TENTANG KEKASIH

Apalah yang lebih indah dari kutukan seorang kekasih yang dinistai oleh orang yang paling dicintainya?
Kekasih, cinta adalah hal yang paling tidak akan bisa kau tebak bagaimana awal mula dan akhirnya. Kekasih, jika kau memahami sedikit saja kalimatku itu, tak akan kau merasakan nestapa yang mengorek jantungmu, mencerabut sukmamu, hingga membuat mata coklatmu menjadi sayu.
Kekasihku yang terdahulu adalah kekasihku yang paling aku cintai, yang paling mengusik ketenangan batinku, yang paling sering muncul dalam malam lelapku, yang paling ingin kulupakan namun tak bisa kuingkari, dan yang selalu hinggap dalam kenanganku. Bukankah kenangan layaknya kentut yang meninggalkan pemiliknya? Kau akan merasa lega setelah melepaskannya, akan tetapi aromanya masih tetap mengganggumu. Bukan kekasihku yang menggangguku, namun kenangan yang kurajut dalam untaian benang cinta kala aku bersamanya.
Kekasih, andai kau tahu, tak sekejap pun kenangan tentangmu pernah meninggalkan imajiku. Tak pernah sekalipun ingatanku tentangmu tergantikan oleh lusinan wanita yang melenguh di bawah tubuhku. Tak pernah sekalipun mereka menggantikanmu. Ketulusan murni yang selalu terpancar dari mata beningmu, tak layak disandingkan dengan pekikan tawa tajam dari bibir murahan.
Andai engkau tak mengusik ketenanganku, tak akan seperti ini jadinya, duhai kekasih. Misalkan jika saat itu engkau tak menanyaiku tentang keseriusanku kepadamu, tak akan aku mengusik rasa cinta kita dengan sundal itu. Kekasih, ribuan kali kukatakan kepadamu jika aku mencintaimu. Tiap engkau menatapku dengan kemolekan binar matamu, selalu kuutarakan betapa aku memujamu. Tak cukupkah itu bagimu, wahai kekasih? Mengapa engkau masih mempertanyakan tentang keseriusanku kepadamu? Bahkan engkau memintaku untuk membawamu ke penghulu. Duh kekasih! Kukatakan berkali-kali kepadamu jika pernikahan adalah belenggu yang belum siap kukenakan di jiwaku. Tak pahamkah engkau dengan kata-kataku itu? Mengapa oh mengapa kau membikinku muak dengan pertanyaan sama yang terus berulang? Kekasih, andai engkau sedikit saja memahamiku, tak akan aku menindih wanita beraroma menjijikkan itu demi menuntaskan hasratku.
Kekasih, andai kau tahu, saat engkau tiba-tiba masuk ke dalam apartemenku dan melihatku bersamanya, sesungguhnya aku membayangkan dirimulah yang ada di dalam dekapanku. Namun kau terlanjur murka layaknya singa betina yang kehilangan anaknya. Kau merutukiku dan sundal itu, yang baru kukenal di malam itu.
Kekasih, bukannya aku tak mau memeluk dan menenangkanmu, akan tetapi amarah yang masih menguasaiku karena ketidakpengertianmu kepadaku membuatku membela wanita yang bahkan namanya tidak kuketahui itu. Engkau meraung, mengoyak interior kamar yang sudah kita susun berdua. Engkau membalikkan meja kaca yang katamu cocok untuk menemani senja kita. Kekasih, andai kutahu jika kemarahanmu itu adalah tanda berakhirnya jalinan cinta kita, akan kuhentikan itu.
“Tidak akan pernah engkau temui wanita sepertiku! Bahkan hingga aku mati pun, engkau akan selalu membandingkan wanitamu dengan diriku! Dan aku adalah wanita terbaik untukmu!” engkau mencecarku dengan rutukanmu itu.
Kekasih, andai kau tahu, aku yang waktu itu memang mencintaimu, jatuh cinta sekali lagi kepadamu ketika melihat paras cantik yang selalu tenang di wajahmu berubah menjadi ular betina yang penuh kedengkian. Aih, cinta memang hal yang membuatmu tak pernah merasa cukup untuk sekedar mencintai, namun juga mengharuskanmu untuk jatuh cinta berkali-kali.
Namun kekasih, harus aku akui, hingga sekarang pun aku tak pernah melupakanmu. Tidakkah kau melihat jika rutukanmu itu sungguh bekerja untukku? Saat ini pun, aku masih selalu membandingkan wanita-wanita bergincu tebal dan beraroma menyebalkan itu denganmu.
Kekasih, sudah saatnya aku kembali ke kamar kita. Kamar yang kita persiapkan untuk merajut cinta kita. Kamar yang kau dekor dengan warna merah kesukaanmu. Kamar yang katamu adalah tempat di mana engkau akan menungguiku pulang. Lihat? Walaupun engkau merutukiku, tapi nyatanya engkau sangat mencintaiku bukan? Di antara mawar merah sewarna darah, wajah pucatmu yang terlelap tak bernyawa masih lebih cantik dibanding ratusan bunga beraroma surga itu, menunggu kepulanganku, sesuai katamu dulu. Kekasih, aku pulang. Hanya kepadamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar