Rabu, 20 Agustus 2014

Surga Yang Terlupakan

Minggu, 10 Agustus 2014, saya berkunjung ke Pacitan, sebuah kota kecil di ujung selatan JawaTimur. Pacitan, kota yang terlupakan. Itulah sebutan yang tepat untuk kota kecil ini. terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Timur, sekaligus berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, Pacitan merupakan kota terpencil yang dikelilingi oleh pegunungan.
Untuk mencapai kota ini, saya memerlukan waktu dua jam dari kota tempat tinggal saya yang terletak di Madiun. Jalanan ke Pacitan ini pun tak bisa dianggap mudah, karena untuk bisa sampai ke sana saya harus melewati jajaran dataran tinggi yang memisahkan kota saya dengannya. Sepanjang perjalanan, pemandangan dataran tinggi siap menyambut mata. Pun tak jarang akan dijumpai penumpang di mobil bak terbuka. Benar. Warga daerah Pacitan sering menggunakan mobil bak terbuka untuk angkutan ke daerah sekitar. Mereka akan berdiri di bak terbuka tersebut dengan sukacita yang tinggi. Khas orang Indonesia di pedesaan, mereka mengenal satu sama lain. Tak ayal mereka pun sering bercanda di mobil bak terbuka itu sambil berdiri (yang menurut saya sangat berbahaya). Pacitan, kota kecil dengan sejuta pesona.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Gua Gong. Gua yang disebut-sebut sebagai gua terindah di Asia Tenggara. Untuk mengaksesnya, saya memerlukan waktu sekitar satu jam dari kota Pacitan dengan perjalanan khas pegunungan, jalan berkelok-kelok dan naik turun, tentunya. Tiket masuk Gua Gong hanya Rp 5.000,00 per orang dan tarif parkir sepeda motor adalah Rp 2.000,00. Ketika sampai di tempat wisata ini, udara khas pegunungan tidak begitu terasa dikarenakan saking ramainya pengunjung di kawasan ini. Untuk mencapai gua ini dari tempat parkir hanya diperlukan lima menit jalan kaki.
Di perjalanan menuju mulut gua, akan ditemui banyak pedagang yang menawarkan jasa peminjaman senter (karena katanya guanya gelap dan jalanan tidak terlihat) seharga Rp 5.000,00 per senter. Saat itu saya tidak menyewa karena teman saya sudah membawa senter dari rumah (saya akui persiapan teman saya ini sangat komplit). Sesampainya di mulut gua, saya sudah merasakan hawa pengap dari dalam gua saking banyaknya orang yang ada di dalam gua. Dan benar saja, ketika saya masuk ke dalam gua, saya langsung merasakan sauna alam yang luar biasa. Gerah. Saking banyaknya orang di dalam gua sepanjang 300 meter itu. Untung saja di beberapa titik gua ada kipas angin super besar yang sedikit mengurangi rasa gerah di dalam gua.
Di dalam, saya baru mengetahui alasan di balik penamaan gua ini. Dinamakan Gua Gong dikarenakan stalaktit dan stalakmit yang ada di gua ini dapat berbunyi seperti gong ketika dipukul. Perjalanan sejauh 300 meter di dalam gua ini pun terasa singkat  karena gua ini ternyata benar-benar indah. Keindahan stalaktit dan stalakmit yang beradu serta warna-warni yang menghiasi gua ini bukan hisapan jempol semata. Mungkin sebutan gua terindah di Asia Tenggara benar-benar pantas disematkan untuk gua ini. Dan ya, di dalam gua ini benar-benar gelap walaupun sudah ada penerangan serta tangga yang tertata rapi. Keluar dari gua, saya disambut kata-kata ‘left nothing except footprints’. What a nice words! I think.
Tujuan kedua setelah Gua Gong adalah Pantai Klayar. Untuk menuju pantai ini, cukup meneruskan perjalanan dari Gua Gong dikarenakan kedua tempat ini searah. Namun bedanya, ketika ke Gua Gong, jalanan masih bagus karena beraspal. Sedangkan perjalanan ke Pantai Klayar masih jauh dari kata mulus. Jalanan sempit dengan banyaknya aspal tidak rata serta tikungan tajam dan naik turun, membuat jalan ke Pantai Klayar lebih asyik jika dilalui oleh kendaraan roda dua. Jarak antara Gua Gong dan Pantai Klayar sekitar 14 kilometer. Kira-kira seperempat jam perjalanan jika menggunakan motor dengan kecepatan sedang.
Dalam perjalanan ini, Anda benar-benar memahami filosofi kehidupan mengenai perjalanan menuju keindahan selalu disertai oleh perjalanan yang berliku dan terjal. Dan setelah perjalanan itu, Anda akan menjumpai keindahan itu. Pantai Klayar. Dengan tiket masuk seharga Rp 3.000,00 per orang dan Rp 2.000,00 untuk parkir sepeda motor, Anda akan dapat menyaksikan pantai ini. Pantai dengan karang dan tebing yang tersembunyi jauh di dalam gunung. Pantai yang selalu dibuai oleh ombak laut selatan. Pantai di mana akan anda lihat perpaduan kelembutan serta keganasan ombak laut selatan. Berbeda dengan pantai kebanyakan yang berpasir halus, Pantai Klayar mempunyai tekstur pasir yang kasar serta pantai dengan karang. Jadi pikirkan ulang jika anda ingin mandi di pantai ini.
Jika anda menelusuri pantai ini lebih jauh, anda akan menemukan tempat dengan tepian pantai yang tidak berkarang. Tidak luas memang, hanya selebar kurang dari 50 meter dan diapit oleh dua buah karang yang kokoh meskipun dihantam ombak ribuan kali tiap harinya, namun di sini Anda bisa bermain layaknya berada di pantai pasir walaupun ombaknya masih besar. Dan hal yang tidak boleh dilewatkan dari pantai ini adalah Anda harus naik ke karang yang mengapit pantai pasir ini. Untuk naik ke karang ini Anda akan ditarik biaya sebesar Rp 2.000,00 lagi. Hal ini dikarenakan karang ini berbahaya dan memerlukan pengawasan, dibuktikan saat beberapa menit setelah saya masuk ke sana, pintu masuk ke karang ini sudah ditutup karena laut sudah mulai pasang (saat itu saya belum menyadari jika hari itu adalah tanggal 13).
Di karang tersebut, Anda akan menjumpai celah karang yang dihantam oleh ombak bisa menyemburkan ombak tersebut dengan aliran air yang kecil namun dengan tenaga yang cukup kuat. Di sini, anda bisa melakukan adegan dalam film Step Up 3D di mana ada udara (namun di sini digantikan oleh air laut yang tentunya akan membuat pakaian anda basah) yang menyembur anda dari bawah. Anda bisa berdiri berhadapan dengan teman anda di celah tersebut karena celah tersebut benar-benar kecil dan tidak membahayakan.
Beberapa saat setelah itu, pengawas karang memanggil kami karena air laut sudah pasang. Dan saya ngeri betul ketika menyadari jika air laut yang tadinya masih jauh di bawah karang saat itu sudah naik kurang dari dua meter dari bibir karang. Jadi, mau tidak mau, saya harus segera turun dari karang agar tidak terbawa pasang. Note: kunjungi Pantai Klayar saat pagi menjelang siang karena di atas jam 2, biasanya air sudah pasang dan berbahaya.
Setelah Pantai Klayar, tujuan selanjutnya dan juga merupakan tujuan terakhir saya adalah Pantai Teleng. Akses ke pantai ini tak sesulit ke Pantai Klayar, karena pantai ini terletak cukup dekat dengan kota. Hanya memakan waktu 10 menit dari pusat kota, pantai Teleng seperti halnya pantai pasir yang bisa dijadikan kawasan berbasah-basahan. Untuk dapat memasuki pantai ini, tiket masuknya adalah Rp 5.000,00 per orang dan Rp 2.000,00 untuk parkir kendaraan roda dua. Anda bisa memarkir kendaraan Anda di sepanjang bibir pantai. Dan seperti pantai-pantai yang terletak di tengah kota, kawasan pantai ini lumayan kotor dan tidak terawat. Sungguh disayangkan untuk wisata pantai yang menjadi salah satu andalan di kota ini. Di Pantai Teleng Ria ini anda juga dapat berbelanja ikan laut macam ikan marlin, tengiri, tuna, dan lain-lain. Para pedagang rata-rata menjual dengan harga yang sama untuk tiap jenis ikan.
Saat saya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan pantai ini, saya baru menyadari jika saat itu merupakan saat bulan super atau yang biasa disebut supermoon. Matahari yang sudah tenggelam di barat serta kemunculan bulan di timur dan laut lepas di depan mata benar-benar perpaduan yang pas bagi saya. Akhirnya saya berangkat pulang ke kota Madiun pukul 18.30 diiringi sinar supermoon yang terang benderang. Pacitan, benar-benar surga kecil yang terlupakan.
-------------

Andaikan Engkau Menjadi Aku

Andaikan engkau menjadi aku, tidak akan pernah terucap amarah dari bibirmu kepada dia.
Andaikan engkau menjadi aku, tidak akan pernah engkau biarkan emosi menguasai hingga ubun-ubunmu dan engkau limpahkan kepada dia.
Andaikan engkau menjadi aku, tidak akan pernah tega engkau mengatakan ‘tidak’ untuk setiap permintaannya.
Andaikan engkau menjadi aku, engkau akan rela melakukan apa saja untuk membuatnya tersenyum.
Andaikan engkau menjadi aku, tak akan pernah engkau temukan kata yang bisa menggambarkan ketulusan hatinya.
Andaikan engkau menjadi aku, engkau akan selalu menyertakan dia di dalam setiap munajatmu.
Andaikan engkau menjadi aku…
Andaikan engkau menjadi aku…
Dan sayangnya, engkau bukanlah aku. Dan tak akan pernah bisa menjadi aku.

***

Aku hanyalah sebuah barang yang selalu dia bawa ke mana pun dia pergi. Bukan benda berharga sepertimu memang, tapi katanya, aku selalu mengingatkannya tentang dirimu. Dia selalu membawaku di saku baju lusuhnya, yang jahitannya sudah terkoyak karena usia yang tentunya memakan waktu yang lama.
Kau tahu? Di saku ini aku selalu bisa memperhatikannya. Segala kelelahannya, keletihannya, semuanya. Aku bisa melihatnya. Tapi anehnya, dia tak pernah mengeluh walaupun semua aral menghunjamnya, menusuknya hingga bernanah. Apalagi jika dia merogoh kantung bajunya dan melihat aku, dia akan tersenyum bahagia. Seolah itu semua bukan apa-apa. Aku bukanlah benda berharga, tak seberharga dirimu memang, tapi aku selalu dibawanya. 
“Ini kubawa agar aku bisa selalu mengingat dirinya saat dia jauh.” Itu yang dikatakannya kepada orang-orang yang bertanya kepadanya mengapa dia membawa barang kumal seperti diriku.
Padahal andaikan engkau tahu, dia selalu mengingatmu dalam setiap waktunya. Sebenarnya dia tak butuh aku, tapi dia selalu membawaku di dalam kantung baju safarinya. Aku memang tak seberharga dirimu baginya, tapi aku jauh lebih mengerti semua pengorbanan yang dia lakukan untukmu dibandingkan dirimu.
Pernah suatu waktu dulu, ketika engkau sudah mulai bisa memanggilnya, dia menangis sesenggukan dan menggunakan aku sebagai pengusap air mata sucinya. Dia menangis bahagia untukmu. Apa engkau tahu itu? Ketika engkau lahir ke dunia ini dan untuk pertama kalinya aku dia kenakan kepadamu, hingga saat ini ketika engkau sudah beranjak dewasa dan mulai melupakan asal-usulmu. Benar, aku adalah helaian kecil kain jarit yang dia gunakan untuk membungkus tubuh merahmu ketika engkau baru lahir dahulu. Dia sengaja memotong-motong bagian diriku agar bisa dibawanya ke mana pun dia suka.
Apakah engkau tahu? Apa yang telah dia lakukan ketika engkau masih terbungkus olehku? Mungkin engkau tahu dari cerita. Dan kali ini sama. Aku akan menceritakannya padamu. Karena engkau bukanlah aku, dan engkau tidak akan merasakan yang sama dengan apa yang telah kusaksikan sepanjang tiga windu ini.

***

Dulu aku adalah kain jarit yang paling indah motifnya di antara rekan-rekanku. Dan dia menemukanku, di antara tumpukan kain yang berjejer di pasar. Aku ingat saat itu, dia sedang berbadan dua dan datang dengan daster bunga-bunga yang terlihat kampungan. Dia sangat hati-hati dalam memilih kain untuk buah hatinya. Hingga dia menemukanku. Kain jarit coklat bercorak dengan gradasi warna hitam. Bukannya aku sombong, tapi aku adalah yang terindah saat itu. Baik untuk warnaku, motifku, hingga bahanku. Dan tentunya hargaku juga tak murah untuk kalangan bawah. Tapi dia memilihku, wanita berbadan dua yang mengenakan daster murahan.
“Tidak apa mahal, ini untuk anakku.” Itu yang dikatakannya kepada penjualku. Padahal dengan membeliku, dia akan menghabiskan seluruh uang yang dibawanya ke pasar di kampung itu. Alhasil dia pun membawaku, dengan senyuman puas karena dia bisa memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Itu adalah awal pertemuanku dengannya. Wanita berbadan dua dengan daster bermotif  kampungan.
Andaikan engkau menjadi aku, engkau akan tahu jika dia membesarkanmu dengan hati-hati. Dengan seluruh cinta yang dipunyainya, yang tidak akan pernah lekang oleh waktu, bahkan oleh kata-kata kasarmu.
Engkau masih bertanya kepadaku mengapa aku bisa berkata begitu? Baiklah, akan kuceritakan satu lagi kepadamu. Cerita yang bahkan aku pun sanggup membencimu. Tapi dia, selalu bisa memaafkanmu.
Dia bukanlah wanita kebanyakan yang bisa membagi waktunya untuk bersolek dan berpesta bersama teman-temannya. Justru dia adalah wanita yang membagi waktunya dengan nyawanya. Hanya untuk menafkahimu. Memberikannya apa yang dirasanya itu terbaik untukmu.
Seperti yang engkau tahu, engkau sudah ditinggalkan bapakmu sejak engkau masih delapan bulan di kandungan. Dan dia membesarkan dirimu hingga saat ini, tiga windu setelah aku pertama berjumpa dirinya di pasar kumuh yang sekarang sudah menjadi gedung menjulang. Dia terus bekerja, tak kenal lelah agar bisa membawakanmu makanan sepulangnya agar perutmu kenyang. Andaikan engkau tahu, demi makananmu itu, dia hanya makan sekali sehari, kadang hanya minum air dalam kurun waktu dia membuka mata hingga dia memejamkannya lagi.
Dan dia berjuang bertaruh nyawa. Seperti yang engkau tahu, dia bukanlah pekerja kantoran yang mempunyai penghasilan tetap dan pakaian necis. Dia hanyalah tukang parkiran yang ada di pinggir jalan. Andaikan engkau tahu, dia mempertaruhkan nyawanya setiap hari demi dirimu. Berada di jalanan yang dilewati truk dan kendaraan besar-besar. Tapi dia tak pernah mengeluh, karena yang dia tahu hanyalah memberikan makan untuk anak yang menungguinya di rumah.
Memang, dia tak seperti wanita lain yang bisa membelikan apa saja untuk anaknya. Dia hanya mengatakan ‘nanti’ ketika engkau meminta sesuatu dari dia. Dan engkau selalu mendahulukan emosimu bukan ketika dia menjanjikanmu begitu? ‘Lagi-lagi nanti, lagi-lagi nanti’. Itu pikirmu. Tapi tahukah engkau jika dia merasa nelangsa ketika dia tak mampu menuruti inginmu?
Bahkan ketika engkau membanting pintu di depan wajahnya saat engkau meminta handphone karena teman-temanmu sudah memilikinya dan dia seperti biasa hanya mengatakan ‘nanti’, dia hanya menangis tanpa suara di dalam ruangan yang engkau tinggalkan. Diggigitnya bibirnya hingga berdarah, agar engkau tak mendengar isakannya. Agar engkau tidak mengkhawatirkan dirinya. Karena dia tidak mau membuatmu khawatir. Yang dia inginkan hanya melihat engkau bahagia.
Lalu ketika dia sudah berhasil memberimu barang yang engkau pinta, engkau bahkan tidak memeluknya atau menciumnya atas kerja kerasnya. Engkau hanya tersenyum tersipu sambil menciumi handphone yang engkau pinta. Dan apa yang dia lakukan? Dia juga tersenyum melihat engkau begitu. Karena dia tahu engkau bahagia.
Masih ingin aku ceritakan kelakuanmu yang bahkan bisa membuat lambungmu memerah jika engkau mengingatnya? Maka akan kuceritakan lagi kalau begitu.
Ingatkah ketika engkau mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanmu ke luar kota? Ingat apa yang engkau lakukan? Apa yang engkau sampaikan kepadanya? Aku akan menguak sedikit memorimu yang mungkin sudah sedikit sirna oleh waktu.
Waktu itu engkau menghambur ke pelukannya. Menciuminya dengan cara yang tidak pernah engkau lakukan sebelumnya. Memberitahunya bahwa engkau mendapatkan beasiswa dan akan pergi meninggalkannya. Untuk menuntut ilmu, katamu. Namun sebenarnya dalam lubuk hati kecilmu engkau bahagia karena engkau akan pergi meninggalkannya. Meninggalkan kehidupan delapan belas tahunmu dan menyongsong kehidupan baru di kota tujuanmu. Engkau bahagia karena akan terlepas darinya. Makanya, engkau memeluknya dengan cara yang tidak biasa.
Tapi tahukah engkau ketika engkau meninggalkan ruangan, lagi-lagi dia menangis pilu dalam dekapanku, kain jarit lusuh yang tidak berharga bagi orang-orang, bahkan bagimu. Dia menangis bukan karena engkau tinggalkan, akan tetapi dia menangis karena bahagia melihat engkau selangkah lebih dekat dengan impianmu. Dia menangis karena mengkhawatirkan dirimu, bagaimana engkau bisa hidup di luar sana seorang diri padahal selama delapan belas tahun ini engkau tak pernah lepas dari dirinya. Bukan, dia bukan menangis karena engkau akan meninggalkannya. Dia menangis karena mengkhawatirkan keadaanmu.
Bahkan hingga kini pun, ketika engkau sudah terlalu terlena dengan kehidupanmu, dia masih dan selalu mengkhawatirkan dirimu. Walaupun kini engkau sudah merasa dewasa dan mengirim uang bulanan untuknya, dia masih mencemaskanmu.
Tahukah engkau jika dia selalu mendekapku dalam tidurnya? Hanya untuk mengingat baumu yang lama sudah tak pernah menghampirinya. Dan tahukah engkau jika setiap sore dia selalu duduk di dipan depan rumah? Itu dia lakukan untuk menyambut kedatanganmu. Padahal kedatanganmu tak pernah lebih dari setahun dua kali, tapi dia tetap setia menunggu di dipan itu.
Dia tak pernah melupakanmu dalam doanya. Dalam setiap hembusan nafasnya, dia selalu meminta kepadaNya untuk keselamatanmu. Dia tak pernah mengharapkan lebih. Dia hanya menginginkan keselamatanmu dalam menjalani kehidupanmu.
Andaikan engkau tahu, sekarang usianya sudah tak lagi muda. Kakinya sudah tak mampu lagi menopang tubuh limbungnya. Dan pernahkah terbersit dalam pikiranmu, apa yang sudah engkau lakukan untuknya? Memberikan uang bulanan, jawabmu? Pernahkah terpikir olehmu jika dia tak hanya memberimu uang bulanan bahkan tahunan? Dia juga telah membesarkanmu. Menjadikanmu pribadi seperti engkau sekarang ini.
Ah, andai engkau meluangkan waktumu barang sejenak untuk menyimak ceritaku, mungkin saat ini pikiranmu sudah melayang kepada sosok wanita nomor satu di dalam hidupmu itu. Cobalah barang sebentar saja, luangkan waktumu untuk mendengarkan suaranya. Lebih-lebih jika engkau mau menemuinya dan memeluknya. Aku yakin, aku yang menjadi teman tidur dalam setiap malamnya tak akan berarti apa-apa. Aku yang yang menjadi tempat mengusap air matanya yang mengalir karena engkau akan menjadi barang tak berharga seperti yang selalu engkau katakan kepadanya. Karena dia hanya akan memperhatikanmu. Karena engkaulah sesungguhnya hartanya yang paling berharga.
Engkau hanya menyimak ceritaku bukan? Engkau bahkan belum menjadi diriku. Bahkan, bumi dan benda-benda mati sepertiku ini bisa memahami ketulusan kasihnya. Dan sekarang pikiranmu sudah penuh dengan kelakuan-kelakuanmu terdahulu yang selayaknya tak engkau berikan kepadanya. Menyesalkah engkau?
Andaikan engkau menjadi aku, aku yakin engkau tak akan pernah berkata kasar kepadanya.
Andaikan engkau menjadi aku, engkau tak akan menemukan hal yang lebih berharga selain melihat senyum di wajahnya yang sudah mulai keriput.
Andaikan engkau menjadi aku, maka engkau tak akan pernah rela meninggalkan dia barang sebentar. Dia yang telah menjagamu semenjak engkau masih merah hingga engkau menjadi orang dengan baju berkerah.
Andaikan engkau menjadi aku, maka yang akan engkau lakukan sekarang adalah memanggil sebutan yang selalu engkau berikan kepadanya.
Andaikan engkau menjadi aku…
Andaikan engkau menjadi aku…
Dan sayangnya, engkau tidak pernah menjadi aku.
***

KETIKA KAU MENYEBUTNYA CINTA

Aku sudah lelah mendustaimu. Lama. Aku hanya menyimpannya seorang diri di sini. Beginikah cara kerja sesuatu yang dinamakan cinta? Merindukannya siang dan malam layaknya orang gila, mendapatkan hatinya, kemudian menginjak-injaknya layaknya bagkai tak berharga. Beginikah cara kerja sesuatu yang disebut cinta? Mengutarakan kata demi kata mesra, namun di baliknya mengingkarinya dalam keheningan. Aku sudah terlalu letih mendustaimu dalam diamku.
Bukan. Ini bukan salahmu. Namun ini hanyalah kepengecutan yang melandai diriku. Aku sudah lelah menafikan cinta. Hanya dengan satu tindakan, bahkan dirimu pun tidak dapat aku gapai dalam kenanganku. Maafkan aku yang tidak bisa jujur kepadamu. Maafkan aku yang mempunyai mulut dengan seribu kata. Maafkan aku yang menjanjikan semua untukmu namun kubalikkan semua itu dengan satu perbuatanku. Maafkan aku…
Aku mencintaimu. Sangat. Bahkan seluruh kehidupanku seolah untukmu. Tindak-tandukmu menjadi kesakralan bagiku. Aku mencintaimu. Lebih daripada yang kau tahu. Aku mencintaimu…
Kau katakan kepadaku jika kau tak tahan memiliki diriku yang tak bisa mengepakkan sayapku. Dan untuk itulah aku terbang. Untukmu. Bebas di angkasa untuk kemudian pulang ke peraduan. Namun sekali waktu, aku terbang terlalu tinggi, hingga matahari melumpuhkan sayapku.
Dan aku berpeluh. Dengan sayap yang sudah tak lagi kumiliki, kuberjalan meniti hari, menuju sangkarmu. Dan di sana, kau menungguku, dengan tangan terbuka siap memeluk tubuhku. Dengan lengan hangat yang selalu mengayomiku. Engkau yang kucintai, selamanya kucintai.

***

‘Sayang, sedang apakah?’
Kuraih handphone-ku dan mendapati pesan instan darimu yang selalu hadir ketika matahari masih terkantuk-kantuk di ufuk timur.
‘Menulis.’ Jawabku singkat. Dan tak usah kumenunggu lama, handphone-ku langsung menampakkan huruf ‘r’ di pesanku itu.
‘Untuk cerpen barumu?’
Kutarik nafas dalam-dalam barang sebentar, lalu kuketikkan jemariku di atas keypad ponselku.
‘Bukan.’ Kataku. ‘Untuk kamu.’
‘Untukku?’ balasnya lagi. ‘Apakah itu?’
Aku tersenyum kecut membaca pesannya. Untunglah dia sekarang tak ada di depanku. Jika tidak, pasti dia akan menangkap keanehan dalam rona wajahku.
‘Nanti…’ tulisku lagi. ‘Ketika kita bertemu lagi, akan kusampaikan kepadamu.’ Janjiku.
Sudah terbaca olehnya pesanku itu, namun belum juga dibalasnya. Tiga detik. Lima. Hingga tiga belas detik. ‘Okayy.’ Akhirnya dia menuliskannya.
Aku menarik nafas panjang, seolah itu adalah nafas terakhir yang harus kusimpan untuk sisa kehidupanku. Kupejamkan mataku, membayangkan apa yang akan terjadi jika dia mengetahuinya. Dia yang berada jauh ratusan kilometer jaraknya dariku saat ini.
‘Aku mencintaimu.’ Tulisnya lagi.
Ini dia. Batinku. Lagi, kupejamkan mataku rapat-rapat, berusaha mengenyahkan ingatanku tentang kejadian yang menghantuiku. ‘me too.’ Balasku. Dan aku tertawa ketika membacanya lagi. Me too. Me too, kataku. Lalu apa yang kau lakukan beberapa hari yang lalu? Tanyaku pada diriku sendiri.

***

“Saka, maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku?” kata Raga kepadaku, di sebuah kafe bernuansa rindang dengan kursi-kursi kayu yang ditata apik.
Mataku berkaca-kaca. Sungguh, inilah yang aku tunggu-tunggu seumur hidupku. Ketika lelakiku mengucapkan kalimat ini kepadaku. Laiknya cermin yang berair, maka Raga akan melihat bayangannya di mataku yang sudah dipenuhi air mata ini.
Dia tersenyum lembut, masih sama seperti senyum pertamanya sejak aku mengenalnya. Sungguh, dialah lelakiku. Lelaki dambaanku.
Seharusnya, aku langsung saja menganggukkan kepalaku untuk menyetujui perkataannya. Atau mungkin aku bisa saja memeluknya di kerindangan kafe ini, tanpa mempedulikan tatapan dari pengunjung lain. Toh dia lelakiku. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Tidak. Aku benar-benar tidak bisa melakukannya. Jadi aku menggeleng. Meskipun itu akan meremukkan hatiku…
“Kenapa?” tanyanya bingung. Kulihat pendar senyum kekanakannya yang tadi mengembang di wajahnya pupus sudah. Berganti tatapan kebimbangan.
“Tidak bisa. Aku tidak baik untukmu.”
Dia menggenggam tanganku yang sedari tadi kuletakkan di atas meja.
“Itu hanya perasaanmu. Kau selalu baik untukku.” Kini senyum lembut itu mengembang lagi di wajahnya.
Aku melihatnya dengan keseluruhan hatiku yang hancur. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. “Tidak. Aku tidak baik.” Kataku ngeyel.
Diremasnya tanganku yang sudah dikuasainya. “Kenapa berpikir begitu?”
Ini dia. Ini dia pertanyaan yang kurasa akan meluluhlantakkan diriku. Dan jawabanku pun akan menghancurkan dirinya, lelaki yang kucintai itu.
“Aku sudah menulisnya di sini.” Kutarik tanganku dari genggamannya dan mengambil sepucuk kertas dari tasku.
Dia mengerutkan dahinya. “Kenapa tidak kau katakan langsung?”
Kugigiti bibirku. Gugup. “Kau selalu tahu jika aku tidak pandai berbicara. Makanya kutuliskan itu untukmu.”
Ditatapnya diriku dengan penuh rasa penasaran. Dia mengedikkan bahunya, lalu mulai membuka kertas itu.
“Tunggu!” perintahku.
Dia terhenti.
“Biarkan aku pergi dulu, baru kau baca itu.”
Dia semakin menautkan alisnya yang indah itu. “Kenapa?”
“Sudahlah. Pokoknya lakukan itu.” Pintaku.
Lagi, dikedikkannya bahunya yang berotot itu.
“Aku akan pergi sekarang, biar kau bisa segera membacanya.”
Dia hanya mengangguk.
“Aku mencintaimu.” Kataku sambil bersiap meninggalkannya.
“Aku ju…” kuputus kalimatnya itu dengan jari telunjukku.
“Katakan itu setelah kau membacanya.”

***

Dan aku berpeluh. Dengan sayap yang sudah tak lagi kumiliki, kuberjalan meniti hari, menuju sangkarmu. Dan di sana, kau menungguku, dengan tangan terbuka siap memeluk tubuhku. Dengan lengan hangat yang selalu mengayomiku. Engkau yang kucintai, selamanya kucintai.
Bahkan rasanya, ketika dirimu datang ke kehidupanku, alam semesta seolah menunjukkan kuasanya kepadaku. Kau membebaskanku dari sangkar emasku. Aku menemukan diriku. Terima kasih untukmu.
Namun aku terbang terlalu bebas, hingga aku melupakan dirimu. Aku mencumbu dirinya, tanpa aku teringat kepadamu. Maaf kepadamu.
Namun aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.
“Aku juga mencintaimu.” Suara Raga memenuhi telingaku.
Dia meneleponku, saat aku sudah berada di kereta menuju rumahku. Sangkar emasku. Mataku berkaca-kaca.
“Kau memaafkanku?” tanyaku terisak.
“Aku mencintaimu.” Hanya itu jawaban yang kudengar dari telepon yang menghubungkan diriku dan dirinya itu.
-END-

Selasa, 19 Agustus 2014

Separuh Mati

Kau sudah lelah. Semangatmu telah patah. Bukan karena kau menyerah, namun karena dia tak pernah berubah. Kau menyebutnya sebagai kekasih. Namun dia menganggapmu sebagai teman dari jauh. Bertahun-tahun kau menahan sesak di dadamu, tapi kau masih tetap bertahan. Hanya karena sebuah harapan. Padahal kau tahu pasti, harapan itu tak lebih kuat dari seutas benang.
Kau sudah letih. Hatimu tahu itu. Namun kau tetap gigih. Kau dayakan segala asamu untuk berpegang padanya. Harapan yang kau tahu pasti tak sekokoh tiang gantungan.  Hanya saja, kau masih berharap, kepada angin yang berbaik hati mendesaukan namamu di telinganya, kepada rintik hujan yang kau tahu akan membuat memorinya terisi tentangmu, bahkan kepada terik matahari yang sinarnya menyilaukan matamu.
Kau tahu pasti, dia tak selalu bisa menunggumu. Namun kau akan selalu bisa menunggunya. Satu, dua, tiga, ataupun puluhan tahun berlalu, kenanganmu akan selalu terisi olehnya. Kenangan yang tak kunjung bosan berkunjung kepadamu hingga kau pun lelah menjamunya. Hingga kau mempersilakannya masuk seakan memorimu adalah rumahnya. Karena, kau sudah lelah. Kau sudah terlalu letih untuk tetap mengharapkannya.

***

Aku selalu yakin, jika aku akan bertahan dalam keadaanku ini.  Walaupun nestapa selalu menyapaku ramah, hingga mungkin bahagia terlalu letih untuk sekedar berkunjung kepadaku. Namun aku yakin, jika kau pun akan bertahan untukku. Di sana. Di tempat yang akan kita tuju bersama.
Aku ingat jika kau selalu menyemangatiku, untuk hal-hal bodohku. Kemudian mengatakan, “ Aku mengharapkanmu.” Dengan senyum lembutmu.
Aku juga mengingat saat kita berteduh di rindangnya tenda angkringan pinggir kali kumuh itu. Kita bahkan tak mempedulikan tawa sinis orang sekitar. Toh, mereka tak tahu jika di situ itu ada keindahan yang tak pernah mereka sangka.
Kita berdua menyaksikannya. Matahari mega yang berpulang ke peraduan. Perpaduan nila serta jingga dengan semburat kemerahan. Kemewahan surgawi yang hanya didapatkan orang beberapa. Dan aku melihatnya. Bersamamu. Di pinggir kali kumuh itu. Menurutku, itu salah satu tanda jika kau memang untukku. Pun aku, memang untukmu. Bukankah Tuhan selalu memberikan saat yang tepat ketika kita menemui orang yang tepat? Karenanya, aku masih mempertahankannya. Mempertahankanmu. Meskipun hati ini rasanya bagai disayat sembilu.
Ah, aku selalu ingat. Kita mempunyai kenangan tentang matahari, angin, serta hujan. Bahkan alam berkonspirasi untuk kisah kita bukan? Dan aku mempercayainya, jika Tuhan sudah mempersiapkan akhir yang indah untuk kita.
“Bukankah kau terlalu naif?” kata karibku kepadaku, setelah bertahun-tahun melihatku masih berharap kepadamu.
Bukannya aku tak menyadari kenaifan diriku, namun aku masih berpegang teguh pada keyakinanku untukmu. Pada tanda-tanda yang diperlihatkan Tuhan kala kita bersama. “Aku tahu. Tapi tanda-tanda itu terus mengusikku.”
Karibku menghembuskan nafasnya. Panjang. “Kau hanya terlalu berharap. Padahal kau tahu itu hampir-hampir mustahil.”
Aku tersenyum kecil, bahkan rasanya senyum ini tak jua membawa kebahagiaan untukku. “Bukankah manusia akan terasa menyedihkan jika tak mempunyai harapan?”
“Namun harapanmu tak lebih tipis dari selembar kertas ini.” Dia memperlihatkan selembar kertas yang sedari tadi dipegangnya. Buram. Lalu dia meremasnya, dan merapikannya kembali. “Dan kini harapanmu layaknya kertas buram kumal ini.”

***

Kau mulai menyadarinya, perlahan. Namun itu selalu pasti. Tanda-tanda yang kau bangga-banggakan itu kini mulai lenyap. Alunan nada yang biasa berdendang di telingamu pun mulai pudar. Sunyi. Bahkan ketika mentari menampakkan semburat jingganya, kau tak lagi merasakannya. Rasa bahagia ketika dia di sampingmu dan menggenggam tanganmu.
Namun kau selalu menafikannya. Kau tak acuh. Selalu menjaga angan kosongmu dengan mengatakan pada dirimu, “Aku masih menunggumu. Aku tak pernah lelah dengan keadaan ini.” Dan tahukah kau apa akibatnya? Ketika kau melakukan semua ini, bahagia meninggalkanmu perlahan. Senyum serta kesetiaan terasa layaknya dongeng dari masa lampau. Namun kau selalu melakukannya. Tersenyum layaknya orang bodoh dan memegang tali harapan kuat-kuat. Hingga jemarimu melepuh tertusuk kuku. Hingga tanganmu kebas, terlanjur ngilu. Ah, kenapa kau selalu begitu? Kau terlalu dalam menjerumuskan diri dalam kesetiaan.
“Aku mengharapkanmu.” Lagi, kau terngiang kata-katanya. Bukankah itu sihir yang mengutukmu menjadi putri kelabu? “Tunggulah aku. Aku akan kembali kepadamu.” Dan sihir itu lengkaplah sudah. Kini kau menjadi putri kelabu yang tak akan terbangun tanpa ciuman dari dirinya.
Bukankah kau selalu mengatakan kepada dirimu? Kau bisa melakukannya. Sendiri. Kau tak membutuhkan siapa pun untuk mencapai anganmu. Tapi kini, sepertinya dia tak pernah membiarkanmu melakukannya. Dia malah membuatmu menjadi manusia tak dewasa. Merengek pada kehidupan, hingga akhirnya kau genggam harapanmu kuat-kuat, layaknya anak kecil yang mempertaruhkan segalanya demi mainan di tangannya.
Lalu, kau butakan mata dan tulikan telingamu. Kau hanya dengarkan apa yang ada hubungannya dengan dirinya. Selain itu, kau tak pedulikan. Semuanya kau hindarkan. Hanya karena kau tak ingin lagi mendengar ejekan orang-orang. Kau terlalu lugu! Kau hanyalah satu dari sekian korban yang mengatasnamakan itu sebagai suatu hal yang sakral. Andai kau memaknai kesakralan itu sebagai sesuatu yang lain. Sebagai suatu hal yang membawamu kepada suatu keabadian. Bukan angan semu yang hanya kau impikan.

***

“Sadarlah! Kau sudah terlalu lama menunggu!” lagi, karibku mengingatkanku tentang waktu penantianku.
Bukannya aku sombong, namun aku sendiri sudah terlalu fasih menyebutkan tentang waktu. Tentang berapa lama aku menunggumu. Itu sudah mengetal dalam ingatanku. Rentang waktu yang tak bisa kusebut sebentar. Namun tak pula bisa kusebut lama untuk suatu hal yang disebut kesetiaan.
“Sepuluh tahun kau habiskan layaknya orang gila untuknya. Kau sudah tak muda lagi...”
“Aku tahu.” Kataku. “Aku jauh lebih tahu tentang waktu daripada dirimu.”
Karibku mengedikkan bahu. Lalu memandangku iba. “Entah kau itu bodoh atau setia. Kadang dua kata itu sukar dibedakan.”
Dan aku hanya tersenyum kecut mendengarnya.

***

Nah, kini kau meraung-raung dalam tangismu. Setelah kau tahu apa yang terjadi kepadanya. Satu dasawarsa dia meninggalkanmu. Dan kau mengatasnamakan kesetiaan untuk diam menunggunya. Lalu kini? Bukankah waktu terasa menertawaimu? Mengejek ketololanmu, kekeraskepalaanmu untuk tetap berada di jalur yang kau sebut sebagai tanda. Bukankah kau sudah menyadarinya? Ketika tanda itu mulai hilang perlahan, ketika bahkan kau tak menyadari keberadaannya di dalam alam nyata maupun khayalmu.
Tanda-tanda itu mulai menjauh, namun kau tak kunjung melepasnya. Ah, andai kau melepasnya sedari dulu, mungkin sekarang kau tak lagi terkungkung dalam nestapamu. Bebas. Lepas. Tak lagi kau menunggu pangeran yang membangunkan warna-warnimu. Ah, andai kau mampu untuk melepasnya dulu, tak akan kau sia-siakan masamu.
Kini kesetiaan yang kau agung-agungkan sudah beralih rupa. Dia yang kau tunggu pun sudah lupa. Bukankah kau juga berpikir demikian? Setelah kau menerima selembar kertas darinya dan namamu berada di kolom tamu undangan.
-END-