Selasa, 03 September 2013

Thing Talks



Tik… tik…tik… Aku mendengar suaraku yang sedang bekerja saat ini. Ditatap oleh pemilikku yang sangat kusukai sekaligus orang yang sangat tak kupahami.
Tik… tik…tik… Aku masih mendengar diriku bekerja keras. Menyusun kata per kata hingga akhirnya menjadi satu rangkaian kalimat. Pemilikku nampaknya sedang terburu-buru, dia menekanku dengan kecepatan yang tak biasa.
Tik… tik…tik… Ah! Akhirnya kalimat-kalimat panjang itu sudah selesai. Sekarang aku sedang merasakan adanya tugas lain yang akan kukerjakan. Dan ya! Pemilikku memberikan perintah kepadaku. Dan aku pun melakukannya.
‘Sore, Om… ini Vera yang kemarin bertemu di pameran. Vera ingin bertemu dengan Om Deni. Om bisanya kapan?’
Sent! Akhirnya aku menyampaikan kata itu kepada pemilikku. Kulihat senyum tipis di bibirnya. Tak berapa lama aku mendapat panggilan dari rekanku. Ah! Aku harus menyampaikan hal ini pada pemilikku. Dengan panggilan berupa nada beep dan lampu LED oranye yang berkelap-kelip di bagian kiri atasku, aku berhasil memanggil dia.
Dia meraihku yang tadi diletakkannya di meja. Mengecek pesan yang baru saja aku terima dari rekanku itu.
‘Sore, Vera. Wah, kebetulan Om juga ingin bertemu Vera lagi. Bagaimana kalau jam 8 malam ini kita bertemu di Restaurant Hotel Shangrila?’
Wah, aku melihat senyum mengembang di wajah pemilikku. Dia terlihat cantik jika tersenyum seperti ini.
Dia kemudian kembali mempekerjakanku, menekan-nekan keypad yang ada di tubuhku. Lagi, dengan kecepatan ekstra yang membuatku ingin menjerit. Tapi ups! Aku tidak bisa menjerit jika tak ada tugas yang harus kulakukan. Jadilah aku diam saja.
‘Iyaa Om… Vera akan datang jam 8 nanti. Tidak sabar untuk bisa ketemu Om Deni lagi.’
Dan aku melakukan tugas yang sama sekali lagi. Setelah tombol sent ditekan, aku harus berkolaborasi dengan rekanku yang merupakan operator seluler untuk menyampaikan pesan ke tujuan.
“Gimana, Ver?” Ow… aku mendengar suara yang bukan merupakan suara pemilikku. Sepertinya aku ingat suara nyaring ini. Dia adalah yang disebut pemilikku sebagai teman baiknya. Tapi aku tidak menyukainya. Hal ini karena… yah, karena setidaknya aku tahu dia orang yang bagaimana melalui pesan-pesan yang dikirimnya ke pemilikku dengan menggunakan jasaku.
“Nanti malam jam 8.” Aku melihat pemilikku membentuk huruf ‘o’ menggunakan jari jempol dan telunjuknya.
“Kamu benar-benar hebat, Veraaa… Pokoknya malam ini harus sukses! Kamu tahu kan Om Deni itu pengusaha besar. Uangnya banyak. Syukur-syukur kamu bisa jadi simpanannya.” Nah! Ini salah satu alasan aku tidak menyukai orang ini.
“Aku nggak mau jadi simpanan, Lun.”
“Lagi-lagi kamu bicara begitu. Ingat ya  Ver, kita jadi SPG itu biar bisa ‘makan’ lelaki-lelaki hidung belang macam begini. Mereka itu mangsa empuk.” Aku benar-benar tidak menyukai cara bicara orang ini. Nada bicara maupun suaranya benar-benar membuatku sakit tanpa alasan.
“Itulah bedanya kita, Luna.” Akhirnya pemilikku meraihku dan berdiri dari kursinya. “Aku pergi dulu. Bye.”
Tampaknya teman baiknya itu sedang melongo di kursinya. Tapi entahlah, itu benar dilakukannya atau tidak, karena aku tidak melihatnya dan tak mau melihatnya.

Layarku sudah menunjukkan pukul dua puluh lebih tiga belas menit saat ini. dan aku sedang berada di dalam kegelapan. Ya, aku sedang berdesak-desakan bersama dompet abu-abu di tas tangan kecil yang menjadi favorit pemilikku. Dan ukh! Di sini benar-benar sempit. Aku tidak bisa bergerak dan melihat apapun. Tapi tunggu! Aku sepertinya bisa mendengar suara pemilikku. Suara indah yang agak serak ini selalu menjadi favoritku. Tapi… sepertinya aku mendengar satu suara lagi yang tak kukenal. Siapa dia? Aku tak suka mendengar suaranya.
“Kamu benar-benar cantik mengenakan gaun hitam itu, Vera. Benar-benar cantik…” suara itu terdengar mesum bagiku. Menyebalkan! Kenapa pemilikku mau-maunya berbicara dengan orang macam ini sih?
“Terima kasih. Om juga terlihat gagah dengan setelan jas itu.” Aku bisa membayangkan pemilikku melemparkan senyum manisnya ke orang itu. Aku sungguh tidak suka!
Bukannya apa-apa, tapi membayangkan orang itu dari suaranya saja rasanya aku sudah muak. Apalagi jika aku melihatnya langsung. Mungkin aku bisa protes ke pemilikku dengan menge-hang-kan diriku. Hmm… kelihatannya ide itu patut dicoba.
Aku berusaha menajamkan daya dengarku untuk bisa mengetahui percakapan mereka. Namun yang kudengar hanya sayup-sayup suara yang bergelontang. Mungkin mereka sedang makan. Baiklah, kalau begitu aku juga akan diam sekarang.

‘Vera, mulai sekarang jangan temui ataupun menghubungi Om lagi.’
Itu adalah pesan yang kusampaikan ke pemilikku beberapa bulan setelah acara makan malam itu. Aku melihat pemilikku sedang menatapku dengan tatapan kosong. Lalu dilemparkannya aku ke kasur, dan dia menyusul, menghempaskan dirinya ke tempat tidur double bed yang terletak di kamar seluas empat kali enam meter ini. Sunyi. Aku tidak mendengar suara apapun darinya. Hanya ada suara dengungan AC di suhu delapan belas derajat Celcius ini. 
Di saat seperti ini aku harus menghibur pemilikku. Tapi apa yang harus kulakukan?
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh rekanku. Dengan kecepatan cahaya dia memanggilku, ketika aku belum siap, kecepatan suara menyusul, membuatku menyanyikan lagu Jar of Heart. Baiklah, yang menyanyikannya memang Christina Perri, tapi untuk mendengarkan itu kan menggunakan jasaku...
Aku merasakan pemilikku meraihku, memencet tombol hijau yang berada di pojok kanan bawahku.
“Halo…”
“Halo Vera, kamu di mana sekarang? Nggak lagi sama Om Deni kan? Eh, aku ada job nih buat kamu.” Suara itu lagi. Suara nyaring yang kubenci.
“Aku udah putus sama Om Deni.”
What??? Kapan? Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku, Ver?”
“Udahlah, Lun. Lagian itu nggak ada hubungannya sama kamu. Aku lagi malas ambil job. Buat yang lain aja. Bye.”
Tut…tut…tut…
Hmm… aku paling suka menyampaikan suara itu kepada wanita bersuara nyaring itu. Tapi aku tidak suka melihat pemilikku tidak bersemangat seperti saat ini. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
Akh! Lagi-lagi rekanku memanggilku. Kali ini pesan singkat yang harus kusampaikan kepada pemilikku.
‘Vera, kita ada tugas kelompok. Please, kali ini kamu datang. Jam delapan besok di kampus. Dodi.’
Lagi, aku dilemparkan ke tempat tidur. Dan pemilikku sekali lagi melakukan hal yang sama, menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Kali ini kaki jenjangnya masih menggantung di pinggirannya.

“Pinjam charger handphone dong.”
Pagi itu aku masih berada dalam dayaku yang kurang maksimal. Bahkan sebentar lagi aku akan mati. Hmm… nampaknya pemilikku lupa mengisi diriku dengan listrik.
“Ini.” Wah. Kali ini aku mendengar suara asing lagi. Baru kali ini aku mendengar suara ini. Suara pemuda yang terdengar berat namun menenangkan. Aku cukup menyukai suara ini.
Tak lama kemudian aku merasakan dayaku semakin bertambah. Hmm… aku sangat menyukai rasa yang kualami saat ini. Benar-benar nyaman.
“Ada tugas apa?” suara judes dari pemilikku membuatku terbangun dari rasa nyamanku. Tidak biasanya dia begini.
“Biasa aja. Aku cuma pengen kamu datang.”
Aku mendengar pemilikku mendengus. “Kalau begitu aku pulang.”
Apa??? Yang benar saja! Aku kan sedang diisi ulang. Kenapa sudah mau dilepas lagi? Ck! Ah ini menyebalkan.
“Kenapa kamu jarang kuliah sih, Ver?”
“Terserah aku dong. Ngapain kamu nanya-nanya? Naksir ya?”
Aku mendengar hembusan nafas panjang dari pemuda itu.
“Iya. Aku naksir kamu.”
Wah… sepertinya ini akan seru. Tapi sudahlah, aku terlanjur keenakan dengan keadaanku ini.
Aku melihat pemilikku membasahi bibirnya. “Jangan bercanda. Aku tidak seperti yang kamu bayangkan.”
Diam sejenak.
“Memangnya di bayanganmu aku membayangkan apa tentangmu?” pemuda itu bertanya tenang.
“Entahlah. Aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak seperti bayanganmu.”
“Seorang SPG dan pernah berkencan dengan beberapa pria paruh baya. Begitu kan?”
Pemilikku terdiam. “Begitulah.”
“Kalau begitu kamu sesuai dengan bayanganku. Aku menyukaimu. Sejak awal kuliah. Saat masih ospek. Sebelum kamu menjadi SPG. Dan saat kita masih akrab...”
Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi manusia. Tapi yang aku tahu, selama beberapa tahun menemani pemilikku, aku tak pernah melihat pipinya bersemu merah seperti saat ini.