Rabu, 14 Juni 2017

Tentang Angka Nol



Memasuki hari keempat dari tujuh hari tantangan Kampus Fiksi, aku jadi semakin bingung. Aku bingung mau jawab bagaimana. Aku merasa jawaban atas pertanyaan di tantangan ini semakin lama semakin sulit. Aku bingung dan merasa jika si Momon ini kepo sekali. Tapi ya sudahlah, namanya juga tantangan. Jadi aku coba saja. 
.
Kali ini, aku akan membahas tentang peristiwa masa laluku. Tunggu, aku jadi bingung juga. Karena peristiwa memalukan dan peristiwa yang seharusnya tidak dilakukan, menurutku adalah dua hal yang berbeda. Dan karena Mba Momon yang manis memakai tanda penghubung ‘atau’, kuputuskan untuk menceritakan peristiwa yang seharusnya tidak kulakukan saja. 
.
Aslinya, aku punya banyak cerita yang seperti itu, tapi ada satu yang paling kuingat yaitu kisah tentang angka nol. Jadi begini, dulu aku masih kelas satu SD, di kelas awal dari pendidikanku ini, aku mulai belajar angka. Aku suka sekali dengan angka, hingga aku selalu membaca dan menuliskan angka-angka yang kujumpai. Nah, celakanya, saat itu aku belum terlalu paham tentang perbedaan yang diberikan oleh sebuah angka nol. Waktu itu, ibuku, yang juga seorang pedagang, mengikuti arisan di mana tiap hari ada seorang mba-mba yang akan menarik uang arisan berkeliling pasar dari satu pedagang ke pedagang lain. Saat itu, buku setoran arisan yang isinya tentu saja adalah angka-angka, sangat menarik perhatianku. Aku selalu membaca dan memperhatikannya, merasa sangat wah ketika melihat jajaran angka nol yang ditulis secara bergandengan. Hingga akhirnya aku ingin mencoba menulis angka nol dengan nol yang digandeng satu sama lain. Celakanya, aku menulisnya di buku itu. Dan tambah celaka lagi, angka nol yang seharusnya cuma empat, kutuliskan sebanyak lima kali. Dan tentu saja, di akhir periode arisan, mba-mba yang sudah tentu punya catatan lain selain di buku setoran itu protes kepada ibuku mengapa di situ tertera setoran yang seharusnya tidak ada. Aku, sebagai anak kecil tentu saja merasa ketakutan, aku khawatir jika mereka menemukanku sebagai pelakunya. Dan, ini hal buruknya. Ketika mba-mba dan ibu menanyaiku, aku malah menjawab jika aku tak tahu apa-apa. Lalu akhirnya ibu membelaku dan membayar setoran yang seharusnya beliau setorkan. Setelah kejadian itu, aku tak berani mengusik buku setoran arisan itu lagi. 
.
Hal ini terus kusesali hingga hari ini, mengapa dulu aku berbohong? Mengapa aku tak berani mengakui perbuatanku? Ibuku, mungkin tahu jika aku berbohong padanya, tapi dia tetap membelaku. Kira-kira seminggu setelahnya beliau mengatakan, jika aku berbuat kesalahan, aku tak perlu takut untuk mengakuinya. Lalu aku memeluknya dan menangis, kubilang maaf berkali-kali tanpa kusebutkan maaf untuk apa. Namun beliau tetap tersenyum dan balas memelukku. Dari situ, aku jadi menyadari bahwa ibu sangat menyayangiku. Hal lain yang juga kusadari adalah, jangan main-main dengan angka. 
.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar