Memasuki hari keempat dari tujuh hari tantangan Kampus
Fiksi, aku jadi semakin bingung. Aku bingung mau jawab bagaimana. Aku merasa
jawaban atas pertanyaan di tantangan ini semakin lama semakin sulit. Aku bingung
dan merasa jika si Momon ini kepo sekali. Tapi ya sudahlah, namanya juga
tantangan. Jadi aku coba saja.
.
Kali ini, aku akan membahas tentang peristiwa masa laluku. Tunggu,
aku jadi bingung juga. Karena peristiwa memalukan dan peristiwa yang seharusnya
tidak dilakukan, menurutku adalah dua hal yang berbeda. Dan karena Mba Momon
yang manis memakai tanda penghubung ‘atau’, kuputuskan untuk menceritakan
peristiwa yang seharusnya tidak kulakukan saja.
.
Aslinya, aku punya banyak cerita yang seperti itu, tapi ada
satu yang paling kuingat yaitu kisah tentang angka nol. Jadi begini, dulu aku
masih kelas satu SD, di kelas awal dari pendidikanku ini, aku mulai belajar
angka. Aku suka sekali dengan angka, hingga aku selalu membaca dan menuliskan
angka-angka yang kujumpai. Nah, celakanya, saat itu aku belum terlalu paham
tentang perbedaan yang diberikan oleh sebuah angka nol. Waktu itu, ibuku, yang
juga seorang pedagang, mengikuti arisan di mana tiap hari ada seorang mba-mba
yang akan menarik uang arisan berkeliling pasar dari satu pedagang ke pedagang
lain. Saat itu, buku setoran arisan yang isinya tentu saja adalah angka-angka,
sangat menarik perhatianku. Aku selalu membaca dan memperhatikannya, merasa
sangat wah ketika melihat jajaran angka nol yang ditulis secara bergandengan. Hingga
akhirnya aku ingin mencoba menulis angka nol dengan nol yang digandeng satu
sama lain. Celakanya, aku menulisnya di buku itu. Dan tambah celaka lagi, angka
nol yang seharusnya cuma empat, kutuliskan sebanyak lima kali. Dan tentu saja,
di akhir periode arisan, mba-mba yang sudah tentu punya catatan lain selain di
buku setoran itu protes kepada ibuku mengapa di situ tertera setoran yang
seharusnya tidak ada. Aku, sebagai anak kecil tentu saja merasa ketakutan, aku
khawatir jika mereka menemukanku sebagai pelakunya. Dan, ini hal buruknya. Ketika
mba-mba dan ibu menanyaiku, aku malah menjawab jika aku tak tahu apa-apa. Lalu akhirnya
ibu membelaku dan membayar setoran yang seharusnya beliau setorkan. Setelah kejadian
itu, aku tak berani mengusik buku setoran arisan itu lagi.
.
Hal ini terus kusesali hingga hari ini, mengapa dulu aku
berbohong? Mengapa aku tak berani mengakui perbuatanku? Ibuku, mungkin tahu
jika aku berbohong padanya, tapi dia tetap membelaku. Kira-kira seminggu setelahnya
beliau mengatakan, jika aku berbuat kesalahan, aku tak perlu takut untuk
mengakuinya. Lalu aku memeluknya dan menangis, kubilang maaf berkali-kali tanpa
kusebutkan maaf untuk apa. Namun beliau tetap tersenyum dan balas memelukku. Dari
situ, aku jadi menyadari bahwa ibu sangat menyayangiku. Hal lain yang juga
kusadari adalah, jangan main-main dengan angka.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar